
Ketidakseimbangan pasokan global menjadikan harga kelapa Indonesia tetap kompetitif dan memperkuat peluang untuk menjadi pemain utama pasar dunia, asal dibarengi strategi hilirisasi dan penguatan industri pengolahan.
Menanggapi kondisi ini, pemerintah pusat menyiapkan berbagai kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara ekspor dan kebutuhan domestik.
Rencana pungutan ekspor kelapa bulat telah diumumkan untuk mengendalikan arus ekspor dan mendorong hilirisasi.
Skema tarif progresif juga disiapkan agar ekspor kelapa mentah dikenai tarif lebih tinggi dibanding produk olahan. Dana dari pungutan ini akan digunakan untuk mendanai program replanting kelapa rakyat.
Sementara itu, usulan moratorium ekspor masih diperdebatkan. Di daerah, seperti di Kepulauan Riau, pemerintah setempat meminta pembatasan ekspor karena pasokan lokal anjlok dan harga santan melonjak.
Baca juga: Fluktuasi Harga Kopi dan Insentif bagi Petani Indonesia
Pemerintah pusat membuka ruang dialog untuk merumuskan solusi bersama yang adil dan berkelanjutan.
Kenaikan harga kelapa sejak akhir 2024 disambut positif oleh para petani di berbagai sentra produksi. Peningkatan harga ini secara langsung meningkatkan pendapatan petani dan mendorong optimisme untuk memperluas areal tanam.
Pemerintah pun menilai momen ini sebagai waktu yang tepat untuk mempercepat replanting kebun kelapa rakyat.
Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Utara, sejumlah koperasi telah melakukan hilirisasi mandiri dengan memproduksi kopra dan Virgin Coconut Oil (VCO), sehingga petani memperoleh nilai tambah lebih besar dan dapat memotong rantai distribusi yang panjang.
Di sisi lain, eksportir dan pedagang besar tetap fokus pada peluang pasar global yang menawarkan harga lebih tinggi dibanding pasar domestik.
Banyak dari mereka mendukung rencana pungutan ekspor, selama hasilnya dialokasikan untuk mendukung petani dan industri hilir.
Beberapa eksportir mulai beralih ke produk setengah jadi seperti kopra untuk mengantisipasi kemungkinan pembatasan ekspor kelapa bulat. Pemerintah pun terus berdialog dengan pelaku usaha untuk menjaga keseimbangan antara ekspor dan pasokan dalam negeri.
Namun, industri pengolahan kelapa, terutama produsen santan dan VCO, kini menghadapi tekanan berat akibat lonjakan harga bahan baku.
UMKM santan harus menaikkan harga jual akibat biaya produksi yang melonjak, sementara industri VCO justru melihat peluang dari tingginya permintaan global.
Sayangnya, banyak pelaku usaha kecil masih terkendala akses permodalan dan kapasitas produksi. Beberapa UMKM di daerah seperti Lampung dan Bali mulai menembus pasar ekspor berkat fasilitasi pemerintah.
Baca juga: Masa Depan Industri Tembakau Indonesia