
Dalam lima tahun terakhir, ekspor gaharu menunjukkan tren fluktuatif, volume mencapai 2.000 ton pada 2021, menurun menjadi 1.600 ton pada 2022 dan 1.200 ton pada 2023. Meski volume turun, nilai ekspor 2023 tetap mencapai sekitar USD16,6 juta (setara Rp270 miliar). Pada 2024, ekspor kembali menurun menjadi sekitar 929 ton dengan nilai sekitar USD12,8 juta (sekitar Rp215 miliar). Angka ini menegaskan bahwa meski pasarnya masih kuat, kapasitas produksi nasional perlu diperkuat.
Selain mengekspor kayu dan minyak gaharu, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah melalui produk turunan seperti kerajinan aromatik, dupa, teh daun gaharu, hingga sabun herbal.
Baca juga: Budidaya Gaharu: Menyelamatkan Tegakan Alami dan Periuk Para Petani
Laju eksploitasi gaharu liar yang tak terkendali pernah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelestarian spesies ini. Banyak jenis pohon penghasil gaharu kini berstatus langka. Sebagian, seperti Aquilaria malaccensis, bahkan telah masuk daftar merah tumbuhan terancam punah.
Menyadari ancaman ini, pemerintah mengambil langkah tegas dengan memperketat regulasi. Ekspor kayu dan getah gaharu dari alam liar kini dilarang, sementara beberapa jenisnya ditetapkan sebagai flora dilindungi. Konvensi internasional CITES pun memasukkan gaharu dalam Appendix II, yang berarti perdagangan internasionalnya hanya dapat dilakukan melalui kuota resmi dan pengawasan ketat untuk menjaga kelestarian populasinya.
Sebagai gantinya, budidaya menjadi jalan tengah yang memberi solusi bagi ekonomi dan konservasi sekaligus. Pemerintah membuka peluang ekspor gaharu hasil budidaya, mendorong pelaku usaha beralih ke sumber legal dan berkelanjutan.
Di berbagai daerah, model konservasi berbasis budidaya mulai diterapkan. Menanam gaharu di lahan kurang produktif terbukti mampu memulihkan fungsi ekologis lahan sekaligus memberi manfaat ekonomi. Pola tanam tumpangsari, di mana gaharu diselipkan di antara tanaman lain, tidak hanya menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga menambah pendapatan petani.
Sejumlah perusahaan dan komunitas turut menjalankan program tanam ulang: setiap kali satu pohon gaharu dipanen, bibit baru segera ditanam sebagai regenerasi sumber daya. Lebih jauh, gagasan konservasi berbasis gaharu telah memunculkan kolaborasi lintas sektor. Organisasi lingkungan hidup menggandeng masyarakat adat di sekitar hutan lindung untuk menanam gaharu sebagai sumber penghasilan alternatif tanpa harus merusak habitat alami.
Baca juga: Daerah Penghasil Gaharu di Indonesia, Kayu Termahal di Dunia yang Mulai Langka
Pendekatan semacam ini sudah berjalan di wilayah Riau, misalnya, di mana warga yang sebelumnya bergantung pada perburuan liar kini dilatih menjadi petani gaharu. Inisiatif tersebut menunjukkan bahwa melindungi hutan tidak selalu berarti menutup akses masyarakat, melainkan memberi mereka pilihan ekonomi yang ramah lingkungan.
Dalam konteks ini, gaharu menjadi simbol harmoni antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan alam, sebuah jembatan antara ekonomi rakyat dan pelestarian hutan tropis Indonesia.
Baca juga: 5 Manfaat Minyak Gaharu untuk Kecantikan Kulit
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang