
DI dapur Batak, tak ada aroma yang lebih menggoda dari getar pedas nan sitrun milik andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Rempah mungil ini bukan sekadar bumbu, melainkan identitas yang melekat pada rasa dan jiwa masyarakat Sumatera Utara. Tak heran jika ia dijuluki “merica Batak”.
Namun di balik keharuman yang mengikat ingatan itu, tersimpan kegelisahan, pasokan andaliman kian menipis, sentra produksinya menyusut, dan rantai pasoknya rapuh. Menjaga andaliman kini bukan hanya urusan dapur, tetapi juga tentang melindungi sumber penghidupan petani, menjaga keseimbangan alam, dan merawat warisan budaya yang membentuk jati diri suatu daerah.
Andaliman tumbuh alami di ketinggian 1.200–2.000 meter di atas permukaan laut, terutama di kawasan berhawa sejuk sekitar Danau Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, hingga sebagian Dairi. Tanaman perdu berduri ini sukar dibudidayakan. Andaliman menuntut tanah vulkanik yang lembap, curah hujan teratur, dan penyerbukan alami dari serangga serta kelelawar malam. Karena itu, sebagian besar andaliman masih dipetik dari hutan-hutan adat.
Di Dolok Sanggul dan Tarutung, petani kerap menempuh perjalanan panjang menuju lereng terjal untuk memanen buah kecil berwarna hijau kemerahan itu. Panennya musiman, sekali atau dua kali setahun, dan hasilnya sangat bergantung pada cuaca. Satu pohon hanya mampu menghasilkan sekitar satu hingga dua kilogram buah kering per musim, dan bila kemarau panjang tiba, banyak pohon tak lagi berbuah.
Ketiadaan kebun andaliman yang dikelola secara intensif membuat pasokan tak menentu, sementara permintaan justru terus meningkat. Di pasar lokal, harga andaliman kering pernah menembus Rp700.000 per kilogram, ironi di tanah asalnya sendiri. Ketidakpastian ini mencerminkan betapa rapuhnya sistem produksi rempah yang menjadi ikon rasa Nusantara.
Andaliman seharusnya tak berhenti sebagai kebanggaan kuliner, tetapi naik kelas menjadi komoditas unggulan berbasis kearifan lokal. Dengan riset budidaya, pendampingan petani, dan promosi sebagai identitas gastronomi Danau Toba, andaliman bisa menjadi simbol bagaimana aroma khas dari lembah kecil di Sumatera mampu menembus cita rasa dunia.
Baca juga: 5 Fakta Menarik Andaliman, Lada Batak yang Muncul di MasterChef Indonesia
Buah tanaman andalimanTradisi pemasaran andaliman di Sumatera Utara masih bertumpu pada jaringan lokal yang sederhana. Pedagang pengumpul membeli hasil petik dari petani, mengeringkannya, lalu menjualnya ke pasar-pasar tradisional di Balige, Tarutung, atau Pematang Siantar. Dari sana, sebagian besar dikirim ke Medan sebelum akhirnya terbang ke kota-kota besar di luar pulau.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, geliat baru mulai terasa. Sejumlah wirausaha muda dan pelaku kuliner kreatif memasarkan andaliman secara daring, baik dalam bentuk rempah kering maupun olahan seperti sambal, minyak, dan bubuk siap pakai. Mereka memanfaatkan platform e-commerce dan media sosial untuk memperkenalkan sensasi “numbing” khas andaliman kepada pasar urban di Jakarta hingga luar negeri.
Tren kuliner etnik dan heritage food memberi ruang baru bagi rempah ini untuk kembali naik kelas sebagai ikon rasa Nusantara. Sayangnya, rantai pasok yang masih rapuh membuat skala usaha sulit diperbesar.
Dari perspektif ekonomi, andaliman sejatinya merupakan komoditas bernilai tinggi yang belum tergarap optimal. Di kancah global, keluarga Zanthoxylum dikenal luas sebagai Sichuan pepper di Tiongkok, timur berry di Jepang, dan sansho di Korea. Permintaan dunia terhadap rempah jenis ini terus meningkat karena digunakan dalam industri makanan, minuman, kosmetik, hingga farmasi.
Kajian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa andaliman mengandung 4–7 persen minyak atsiri dengan komponen utama limonena dan citronellal, senyawa yang memberi aroma jeruk segar sekaligus sensasi kebas di lidah. Potensi nilai tambahnya besar jika dikembangkan sebagai bahan baku parfum alami, aromaterapi, atau flavoring agent untuk industri makanan modern.
Simulasi sederhana menunjukkan bahwa jika Indonesia mampu mengelola 1.000 hektar lahan budidaya andaliman secara berkelanjutan, dengan produktivitas rata-rata 500 kilogram per hektar per tahun, nilai ekonomi bruto dapat mencapai lebih dari Rp350 miliar per tahun. Angka ini belum termasuk potensi turunan seperti sambal, saus, minyak atsiri, atau produk kering dalam kemasan yang siap ekspor.
Namun kunci keberhasilan bukan hanya pada angka, melainkan pada keberlanjutan bahan baku. Tanpa ekosistem budidaya yang kuat, regenerasi petani, serta dukungan riset dan pasar yang berpihak, potensi besar itu hanya akan menjadi aroma nostalgia dari dapur Batak yang kian memudar.
Lebih dari sekadar komoditas, andaliman adalah bagian dari jati diri masyarakat Batak. Ia hadir dalam setiap ritual adat, dari pesta mangulosi hingga mangokal holi, menjadi simbol kehangatan dan kebersamaan.
Dalam falsafah Batak, makanan yang baik bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga mengandung tolu sahat, rasa, makna, dan kehangatan sosial, dan andaliman mewujudkan ketiganya dalam satu aroma yang mengundang perbincangan serta menyatukan keluarga.