Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Mengangkat Nilai Rempah Nusantara

Kompas.com - 23 Oktober 2025, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

REMPAH-rempah Nusantara pernah menjadi primadona dunia. Sejak berabad-abad lalu, kepulauan kita dikenal sebagai sumber lada, pala, cengkeh, vanili, kayu manis, dan aneka rempah eksotis lainnya. Nilai rempah di masa lampau begitu tinggi hingga mendorong penjelajahan samudra dan lahirnya era kolonialisme.

Para saudagar Arab telah lebih dulu membawa pala dan cengkeh dari Maluku ke pasar Asia Barat, bahkan jejaknya ditemukan di peradaban kuno Mesopotamia. Memasuki abad ke-14, harga pala di Eropa konon setara dengan tujuh ekor lembu gemuk per pon. Aroma lada, cengkeh, dan pala mengundang kedatangan Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda untuk berebut “emas dari timur” pada abad ke-16. Tak heran jika benteng-benteng kolonial berdiri di Maluku sebagai saksi sejarah kejayaan rempah kita.

Pada puncak perdagangan rempah era VOC, kekayaan rempah Nusantara bahkan menyumbang sekitar 15 persen dari PDB Belanda kala itu. Fakta sejarah ini mengingatkan kita bahwa rempah bukan sekadar bumbu dapur, melainkan komoditas strategis yang pernah menggerakkan roda ekonomi dunia.

Baca juga: Barus: Rempah Nusantara yang Terlupakan

Tantangan Pengelolaan Rempah Masa Kini

Realitanya, pamor rempah Indonesia sempat meredup. Meski kita masih menjadi produsen utama lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan vanili, nilai ekspor lima jenis rempah utama itu masih jauh di bawah potensi sebenarnya. Indonesia hanya menguasai sekitar tiga persen pasar ekspor rempah global, padahal tanah dan iklim kita sangat ideal untuk budidaya berbagai jenis tanaman rempah.

Mengapa kontribusi rempah bagi perekonomian modern tidak sebesar kejayaannya dahulu? Ada sejumlah tantangan mendasar dalam pengelolaan dan rantai pasok rempah saat ini.

Pertama, budidaya rempah masih didominasi oleh petani kecil dengan lahan terbatas. Banyak petani kehilangan minat karena harga tidak stabil dan keuntungan tipis, sehingga mereka beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih cepat menguntungkan.

Kedua, rantai pasok yang panjang membuat harga di tingkat petani rendah, sementara kualitas di hilir tidak seragam. Petani menjual ke pengepul, lalu ke pedagang perantara, baru kemudian sampai ke pabrik atau eksportir. Alur berjenjang ini menyulitkan kontrol mutu dan ketertelusuran produk. Industri pengolahan pun kerap kesulitan memperoleh bahan baku dengan mutu konsisten.

Tantangan berikutnya adalah standar kualitas global yang semakin ketat. Penolakan ekspor rempah masih terjadi akibat kontaminasi jamur atau residu pestisida yang melebihi ambang batas. Masalah ini bersumber dari penanganan pascapanen yang belum baik, biji pala atau lada yang tidak dikeringkan sempurna rentan jamur, sementara penggunaan pestisida berlebihan meninggalkan residu kimia.

Selain itu, infrastruktur di wilayah penghasil rempah juga menjadi tantangan besar. Sentra-sentra rempah unggulan seperti Maluku, Papua, atau pedalaman Sumatra masih terbatas akses transportasi dan logistiknya, sehingga biaya pengiriman tinggi. Sementara itu, industri pengolahan rempah di dalam negeri sebagian besar masih berskala kecil dan menggunakan teknologi sederhana.

Baca juga: Menjaga Andaliman, Rempah Wangi yang Tak Tergantikan

Hilirisasi dan Peningkatan Nilai Tambah

Untuk mengangkat kembali nilai ekonomi rempah, kuncinya adalah hilirisasi, yaitu mengolah rempah menjadi produk jadi bernilai tambah di dalam negeri. Kita perlu keluar dari jebakan lama sebagai pengekspor bahan mentah yang hasil olahannya justru diimpor kembali dengan harga berkali lipat.

Sebagai langkah konkret memperkuat nilai ekonomi rempah, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan telah menyiapkan program hilirisasi perkebunan dalam skema yang menempatkan komoditas pala dan lada sebagai prioritas nasional. Program ini mencakup pengembangan kawasan hilirisasi di sentra-sentra produksi seperti Maluku dan Lampung, penyediaan bibit unggul dan penanganan di level industri untuk pengolahan.

Di tingkat hulu, perbaikan kualitas benih, penerapan praktik budidaya yang baik, serta pendampingan petani menjadi pijakan utama. Pada tahap pascapanen, teknologi menjadi penentu utama. Pengeringan dengan oven dapat menjaga kadar air rendah, mencegah jamur, dan mempertahankan aroma rempah. Teknologi sortasi, penggilingan, distilasi minyak atsiri, hingga pengemasan berstandar internasional kini mulai diterapkan di sentra-sentra produksi.

Paradigmanya bergeser, rempah tidak lagi dijual mentah, tetapi diolah menjadi produk siap pakai, mulai dari bubuk lada kemasan premium, minyak pala, hingga oleoresin untuk industri makanan dan kosmetik.

Beberapa daerah mulai menunjukkan kebangkitan. Di Lampung, tengah dikembangkan pabrik oleoresin lada hitam untuk menghasilkan esensi lada berkualitas tinggi. Di Sumatera Barat, pemerintah daerah mendorong pengolahan gambir menjadi tanin dan katekin, bahan baku bernilai tinggi untuk industri farmasi dan kosmetik. Petani kini tidak hanya menjual getah mentah, tetapi juga produk ekstrak siap ekspor.

Kisah serupa terjadi di Maluku, di mana perusahaan daerah bermitra dengan ratusan petani pala untuk mengekspor pala premium ke Belanda. Proses pascapanen dilakukan dengan pengeringan mekanis dan pengawasan mutu yang ketat, sehingga produk mereka lolos uji laboratorium internasional. Sementara di Sumatera Utara, rempah khas andaliman kini diolah menjadi teh herbal kemasan premium yang laris di pasar domestik dan ekspor.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau