
BAGI banyak orang, nama Kedawung mungkin lebih akrab sebagai sebutan daerah, kecamatan atau nama jalan, mirip dengan Gambir, Kemang atau Gandaria yang lebih dikenal sebagai kawasan wilayah atau perkotaan. Padahal, Kedawung (Parkia timoriana) sejatinya adalah nama pohon legum raksasa yang dahulu sangat penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Prof. Ervizal AM Zuhud (IPB) mencatat bahwa tanaman ini dulu begitu dekat dengan keseharian masyarakat, namun kini hanya segelintir orang yang masih mengenal dan memanfaatkannya.
Pohon kedawung secara fisiologis adalah pohon hutan raksasa yang dapat tumbuh setinggi 30–45 meter dengan batang lurus berdiameter lebih dari satu meter, akar kuat yang menjalar lebar, serta pucuk yang menjulang gagah. Kulit batangnya cokelat keabu-abuan dan agak kasar, sementara tajuknya yang lebar dan rindang memberikan siluet megah mirip trembesi atau petai (pete) hutan, kerabat dekatnya dalam suku polong-polongan (Fabaceae).
Daunnya berupa daun majemuk ganda yang rapat, bunganya muncul sebagai bola-bola kecil pada tangkai panjang, dan buahnya berupa polong besar menyerupai petai versi raksasa.
Sebagai legum hutan, kedawung memiliki kemampuan melakukan fiksasi nitrogen yang membantu menyuburkan tanah di sekitarnya, menjadikannya penting bukan hanya secara budaya dan pemanfaatan tradisional, tetapi juga secara ekologis bagi kesehatan ekosistem hutan tropis.
Salah satu bagian paling bernilai dari tanaman ini adalah bijinya yang berwarna hitam, kaya nutrisi dan senyawa bioaktif. Sejak lama, biji kedawung digunakan dalam tradisi jamu sebagai obat alami untuk meredakan sakit lambung, diare, infeksi kulit, hingga gangguan sirkulasi darah berkat sifat antibakteri dan antiinflamasinya.
Penelitian modern turut menguatkan khasiat tersebut, bahwa biji kedawung terbukti mengandung fenolik, saponin, serta senyawa yang bersifat antibakteri, antidiabetik, dan antiinflamasi.
Kandungan bioaktif yang begitu beragam ini menempatkan kedawung sebagai kandidat kuat dalam pengembangan obat herbal dan pangan fungsional berbasis bahan alami.
Hampir seluruh bagian tanaman kedawung, mulai dari daun, kulit batang, hingga polong, menyimpan manfaat penting yang menjadikannya tanaman bernilai tinggi. Kandungan fitosterol, flavonoid, dan tanin berperan dalam menurunkan kolesterol serta menjaga kesehatan jantung.
Dikombinasikan dengan rekam jejak pemanfaatan tradisional dan temuan ilmiah yang semakin kuat, kedawung memiliki peluang besar untuk dikembangkan kembali, baik di sektor kesehatan, industri herbal, maupun dalam pengelolaan lingkungan.
Secara tradisional, biji dan bagian lain tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan jamu untuk meredakan sakit perut, kolera, radang, serta sebagai obat antidiare dan antimikroba. Senyawa fenolik dan saponin dalam bijinya memberikan manfaat kesehatan signifikan, sementara fitosterol membantu menurunkan kolesterol.
Penelitian etnobotani menunjukkan bahwa para penjual jamu gendong di Jawa rutin memasukkan kedawung dalam racikan mereka. Dengan dasar ilmiah yang mulai terkumpul, industri jamu modern dapat mengolah ekstrak kedawung menjadi suplemen herbal bernilai ekonomis untuk pasar nasional maupun internasional.
Di bidang pangan, biji kedawung memiliki kandungan nutrisi tinggi, mengandung protein sekitar 28,7%, karbohidrat 44,5%, dan lemak 21,2%, yang menjadikannya calon bahan pangan fungsional bernutrisi tinggi. Biji kedawung kering atau panggang dapat diolah menjadi camilan sehat kaya protein, sementara inovasi di Jawa Timur telah menghasilkan produk brownies kedawung sebagai upaya memperkenalkan kembali cita rasa tradisional.
Peluang lain seperti sirup sehat, tepung protein, atau suplemen serbuk kedawung juga terbuka lebar sebagai produk modern yang bernilai tambah.
Dari sisi industri, biji kedawung mengandung asam lemak tak jenuh, terutama asam oleat (±38,9%) dan palmitat (±34,7%), sehingga berpotensi menjadi sumber minyak nabati sehat untuk kebutuhan kuliner, kosmetik, maupun farmasi. Kandungan antioksidannya yang tinggi membuat minyak kedawung cocok dijadikan bahan produk kesehatan.