Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara

Kompas.com - 4 Juli 2025, 17:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOPI Liberika dan Excelsa merupakan jenis varietas kopi yang kurang dikenal dibandingkan Arabika dan Robusta.

Liberika (Coffea liberica) berasal dari Liberia, Afrika Barat, dan dibawa ke Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke19 (sekitar 1878) sebagai alternatif untuk menggantikan Arabika yang terdampak penyakit karat daun.

Sedangkan Excelsa ditemukan pada tahun 1905 oleh botanis Perancis Auguste Chevalier di sekitar Sungai Chari, dan secara botani diklasifikasikan sebagai varietas Coffea liberica var. dewevrei, meski status taksonominya masih diperdebatkan.

Dengan demikian, keduanya masih berkerabat dekat dalam kelompok “liberoid”, berbeda dengan Arabika (“arabikoid”) dan Robusta (“roustoid”).

Dari sisi sejarah perdagangan global, Arabika dan Robusta mendominasi lebih dari 90 persen konsumsi dunia, sementara Liberika dan Excelsa masih tergolong langka.

Di Indonesia, Liberika mulai dikenal sejak akhir abad ke19 dan ditanam di berbagai daerah rawa atau gambut seperti Jambi, Bengkulu, bahkan Kalimantan Barat.

Excelsa mulai mendapat perhatian belakangan, dengan beberapa sentra di daerah gambut seperti Tanjung Jabung Barat dan kini semakin populer di kalangan specialty coffee serta diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Karena keduanya tergolong “heritage beans”, Liberika dan Excelsa memiliki potensi sebagai kopi spesialti yang tengah naik daun.

Baca juga: Fluktuasi Harga Kopi dan Insentif bagi Petani Indonesia

Citarasa Liberika yang kompleks, dengan aroma buah, kayu, bahkan sedikit asap, dan rasa buah Excelsa yang asam dan berlapis menjadikannya unik.

Di Indonesia, para peneliti seperti dari BRMP (dahulu Balitbangtan), IPB dan Puslitkoka menyebut kedua varietas ini sebagai emerging specialty beans dari Afrika yang memiliki nilai ekonomi dan ekologis, seperti toleransi lahan gambut dan kontribusi positif terhadap keanekaragaman tanaman lokal.

Identitas budaya dan sebaran geografis

Kopi Liberika dan Excelsa tidak sekadar hadir sebagai komoditas, melainkan telah menyatu dengan identitas kultural di berbagai wilayah penghasil di Nusantara.

Sejak diperkenalkan pada akhir abad ke19, kedua varietas ini bertahan lewat cerita rakyat, tradisi minum kopi, hingga seremoni panen yang diwariskan antargenerasi.

Di beberapa desa, misalnya, ritual “nyruput bareng” menggunakan kopi Liberika menjadi sarana mempererat silaturahmi sekaligus bentuk syukur atas kelestarian lahan gambut mereka.

Kehadiran kopi eksotis ini memperkaya khazanah kopi nusantara yang selama ini didominasi Arabika dan Robusta.

Berbeda dari dua varietas arus utama tersebut, Liberika dan Excelsa memiliki julukan lokal yang mencerminkan kedekatan emosional masyarakat.

Liberika kerap disebut “kopi nangka” atau “kopi nongko” karena aroma panggangannya mengingatkan pada buah nangka. Sedangkan sebagian petani di Sumedang menyebut keduanya “kopi Afrika” atau bahkan “kopibuhun” (kopi leluhur).

Penamaan ini menandai penghormatan terhadap warisan nenek moyang sekaligus cara membedakan rasa dan karakter mereka dari kopi lain di pasaran.

Di Kendal, Jawa Tengah, petani masih merawat rumpun Liberika yang konon telah berusia ratusan tahun, membuktikan nilai historis yang melekat pada tiap batang kopi.

Secara geografis, Liberika tumbuh paling baik pada lahan gambut ber-pH rendah dan kondisi tergenang musiman.

Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern

Jambi dan Bengkulu menjadi sentra utama, diikuti Kepulauan Meranti (Riau) yang menjadikan Liberika sebagai “penjaga” ekosistem gambut karena perakarannya mampu menahan erosi.

Jawa pun punya kantong produksi, dari Kendal hingga Jember, meski kepadatan pohonnya lebih jarang akibat ukuran batang yang tinggi dan besar.

Popularitasnya di kalangan pegiat specialty coffee terus menanjak, sementara kafe-kafe setempat berlomba menawarkan “Liberika aroma nangka” sebagai daya tarik kuliner sekaligus produk wisata agro.

Excelsa, di sisi lain, lebih adaptif pada dataran rendah tropis ber-pH tanah relatif tinggi. Budi dayanya terkonsentrasi di Tanjung Jabung Barat (Jambi) dan sebagian kawasan Riau, namun kini merambat hingga Temanggung dan Sumedang.

Cita rasa Excelsa yang masam gurih dan body yang tebal membuatnya kian diminati kompetisi kopi internasional.

Ketika barista Ryan Wibawa menyajikannya di panggung "World Brewers Cup 2024" di Chicago, ia menegaskan bahwa Liberika, Excelsa, dan Arabika merefleksikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mewakili keragaman rasa sekaligus budaya Indonesia di mata dunia.

Kehadiran Liberika dan Excelsa, dengan segala keragaman nama, sejarah, dan persebarannya, menegaskan bahwa kopi tidak hanya soal ekonomi, melainkan juga narasi kebudayaan.

Di tengah tren kopi spesialti global, kedua varietas ini menjadi simbol kekayaan hayati yang mengangkat citra daerah asal sekaligus membuka peluang wisata, riset, dan inovasi kuliner.

Mempertahankan pohon kopi “buhun”, melestarikan praktik tanam tradisional, serta mengemas cerita di balik tiap cangkir adalah ikhtiar menjaga warisan leluhur dan memastikan bahwa kopi eksotis Nusantara tetap lestari serta diakui dunia.

Keunggulan kompetitif bagi petani kopi

Kopi Liberika dan excelsa tidak hanya hadir sebagai komoditas pertanian, tetapi juga telah menyatu dengan identitas budaya masyarakat di sejumlah wilayah penghasil kopi di Indonesia.

Sejak diperkenalkan pada akhir abad ke-19, kedua varietas ini bertahan lewat tradisi tutur, kebiasaan minum kopi, hingga seremoni panen yang diwariskan secara turun-temurun.

Di beberapa desa, ritual “nyruput bareng” menggunakan kopi Liberika tidak sekadar menjadi ajang bersantai, melainkan juga wujud syukur atas kelestarian tanah gambut yang menopang kehidupan mereka.

Keunikan rasa dan daya adaptasi tanaman ini menjadikannya bagian dari khazanah kopi Nusantara yang selama ini didominasi oleh Arabika dan Robusta.

Kedekatan masyarakat dengan kedua varietas tersebut tercermin dari berbagai nama lokal yang diberikan.

Baca juga: Dinamika Industri Kopi Indonesia

Liberika kerap disebut “kopi nangka” atau “kopi nongko” karena aroma khas panggangannya yang mengingatkan pada buah nangka.

Sementara itu, sebagian petani di Sumedang menyebut Liberika dan Excelsa sebagai “kopi Afrika” atau “kopi buhun” (kopi leluhur), istilah yang mencerminkan penghormatan terhadap warisan nenek moyang.

Di Kendal, Jawa Tengah, pohon Liberika tua yang diduga berusia ratusan tahun masih dirawat dan dipanen secara tradisional.

Julukan dan perlakuan khusus ini memperlihatkan bahwa kopi bukan sekadar hasil tani, melainkan juga warisan hidup yang mengandung nilai sejarah dan identitas lokal.

Sebaran geografis kedua varietas ini juga menunjukkan karakter adaptif dan keterkaitannya dengan ekosistem lokal.

Liberika banyak tumbuh di lahan gambut ber-pH rendah seperti di Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan Meranti, di mana akarnya berperan penting dalam menjaga kestabilan tanah.

Sementara itu, Excelsa lebih cocok di dataran rendah tropis dengan pH tanah lebih tinggi, seperti di Tanjung Jabung Barat dan sebagian wilayah Riau, serta mulai menyebar ke Temanggung dan Sumedang.

Keunikan rasa Excelsa yang masam, gurih, dan ber-body tebal membuatnya kian diminati, bahkan mewakili Indonesia di ajang "World Brewers Cup 2024".

Liberika dan Excelsa pun kini menjadi simbol kekayaan hayati dan kultural kopi Nusantara yang patut dijaga, dikembangkan, dan diperkenalkan ke panggung dunia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau