Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Pasar Organik dan Produk Perkebunan

Kompas.com - 5 November 2025, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

GAYA hidup sehat dan ramah lingkungan kian mengemuka di dunia. Kesadaran konsumen terhadap pangan organik yang bebas pestisida sintetis dan lebih berkelanjutan meningkat pesat, mendorong pertumbuhan pasar produk pertanian organik.

Bahkan untuk komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, kelapa sawit, kelapa, dan rempah-rempah, geliat produk organik sangat terasa. Contohnya, minyak sawit organik asal Sumatera berhasil menembus pasar Jerman dan Swiss dengan harga hampir dua kali lipat dibanding harga biasa. Di Temanggung, Jawa Tengah, petani kopi organik kebanjiran pesanan dari Australia, Korea, hingga Jepang, juga dengan nilai jual dua kali lipat dari kopi non-organik.

Kisah serupa datang dari Flores dan Aceh, saat produsen cokelat premium Jerman memesan ratusan ton kakao organik Trinitario dari petani lokal untuk memenuhi permintaan pasar Eropa.

Contoh-contoh nyata ini menegaskan daya tarik besar produk organik, harga premium, akses pasar ekspor yang lebih luas, dan citra positif keberlanjutan. Permintaan global terhadap produk organik terus meningkat seiring tren gaya hidup sehat dan peduli lingkungan, terutama di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur. Bagi negara produsen seperti Indonesia, ini ibarat tiket VIP menembus pasar ekspor bernilai tinggi.

Label organik pada komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, teh, hingga minyak kelapa, menjadi “paspor emas” untuk memasuki segmen pasar premium dunia. Pembeli di negara maju bersedia membayar mahal demi produk berlabel organik berkualitas. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan pembeli Eropa secara aktif mencari kakao organik, teh organik, dan kopi specialty Indonesia untuk dijual di toko premium dengan harga lebih tinggi.

Antusiasme itu terlihat jelas saat pameran Biofach 2023 di Jerman, ajang produk organik terbesar dunia, ketika Paviliun Indonesia mencatat potensi transaksi ekspor hingga US$2,07 juta (sekitar Rp34 miliar) hanya dalam tiga hari. Secara global, luas lahan pertanian organik mencapai hampir 99 juta hektare pada 2023, dengan nilai penjualan dunia sekitar US$129 miliar, dan tren pertumbuhannya terus meningkat seiring kepedulian terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan.

Baca juga: Kisah Alexius Atep, Pilih Pertanian Organik dan Agroforestri hingga Raih Penghargaan Lingkungan

Kebangkitan Pasar Organik Domestik

Pasar ekspor organik memberikan nilai tambah nyata bagi petani dan eksportir Indonesia. Produk berlabel organik kerap dihargai premium dan permintaannya relatif stabil. Pembeli segmen ini umumnya loyal, berasal dari kalangan berdaya beli tinggi yang mengutamakan keberlanjutan dan kesehatan.

Hubungan dagang yang terbangun pun lebih resilien karena importir sering menawarkan kontrak jangka panjang, pendampingan teknis, hingga akses pembiayaan hijau bagi petani. Dengan kata lain, mengekspor komoditas bersertifikat organik dapat membuka peluang kemitraan yang menguntungkan petani di daerah penghasil.

Hal ini semakin relevan mengingat Indonesia adalah raksasa agribisnis tropis—dari kelapa sawit, kopi, kakao, hingga rempah, yang menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi penopang utama devisa negara. Tidak hanya di mancanegara, permintaan produk organik dalam negeri pun tumbuh seiring meningkatnya kesadaran kelas menengah terhadap gaya hidup sehat.

Survei menunjukkan lebih dari dua pertiga konsumen Indonesia kini lebih teliti membaca label pangan dan memperhatikan bahan yang digunakan. Kekhawatiran terhadap dampak pestisida, pewarna, dan pengawet kimia mendorong pergeseran perilaku konsumsi menuju produk alami dan organik.

Tren ini semakin kuat pascapandemi COVID-19, ketika masyarakat mulai menaruh perhatian besar pada imunitas dan kesehatan jangka panjang. Nilai penjualan makanan dan minuman organik di Indonesia pada 2023 tercatat sekitar US$1,15 miliar (Rp15 triliun) menjadikan Indonesia pasar organik terbesar ketiga di Asia setelah Tiongkok dan Jepang. Meski konsumsi per kapita domestik masih relatif kecil, proyeksi pertumbuhannya mencapai 7–8 persen per tahun hingga 2028, menandakan potensi yang sangat menjanjikan.

Peningkatan permintaan ini juga tampak dari makin mudahnya menemukan produk organik di pasar ritel perkotaan. Supermarket besar, toko swalayan, hingga online store kini menawarkan beragam pilihan, beras organik, gula kelapa organik, minyak kelapa organik, rempah, hingga teh dan kopi organik lokal. Tantangannya, harga produk organik lokal masih relatif lebih mahal dibanding produk konvensional, membuat pasar domestik masih terbatas pada segmen menengah atas.

Pertumbuhan ekonomi berbasis organik membawa angin segar bagi daerah penghasil komoditas perkebunan. Dengan beralih ke praktik organik, petani dapat menikmati nilai tambah yang signifikan. Kopi organik, misalnya, dapat dihargai hingga dua kali lipat dari kopi biasa, sementara lada, kayu manis, dan pala organik memiliki pasar ekspor yang menjanjikan dengan harga premium.

Pola pertanian organik juga mendorong efisiensi berkelanjutan: petani diajak membuat pupuk kompos sendiri, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, sekaligus memperbaiki kesuburan tanah.

Baca juga: Pertanian Organik Jadi Kunci Ketahanan Pangan, tapi Hadapi Banyak Tantangan

Masa Depan Pertanian Berkelanjutan

Tentu, meraih semua peluang di atas bukan tanpa tantangan. Beralih ke pertanian organik pada komoditas perkebunan skala luas menghadapi sejumlah kendala yang perlu diatasi bersama. Pertama, sertifikasi organik yang masih mahal dan rumit menjadi hambatan besar bagi petani kecil.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Varietas Tanaman
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Varietas Tanaman
Mendorong Nilai Tambah di Negeri Seribu Kelapa
Mendorong Nilai Tambah di Negeri Seribu Kelapa
Varietas Tanaman
Anomali Pasokan Kakao: Analisa dan Solusi untuk Industri
Anomali Pasokan Kakao: Analisa dan Solusi untuk Industri
Varietas Tanaman
Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Varietas Tanaman
Mengangkat Nilai Rempah Nusantara
Mengangkat Nilai Rempah Nusantara
Varietas Tanaman
Menguatkan Harum Cengkeh dan Ekonomi Daerah
Menguatkan Harum Cengkeh dan Ekonomi Daerah
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau