
GAYA hidup sehat dan ramah lingkungan kian mengemuka di dunia. Kesadaran konsumen terhadap pangan organik yang bebas pestisida sintetis dan lebih berkelanjutan meningkat pesat, mendorong pertumbuhan pasar produk pertanian organik.
Bahkan untuk komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, kelapa sawit, kelapa, dan rempah-rempah, geliat produk organik sangat terasa. Contohnya, minyak sawit organik asal Sumatera berhasil menembus pasar Jerman dan Swiss dengan harga hampir dua kali lipat dibanding harga biasa. Di Temanggung, Jawa Tengah, petani kopi organik kebanjiran pesanan dari Australia, Korea, hingga Jepang, juga dengan nilai jual dua kali lipat dari kopi non-organik.
Kisah serupa datang dari Flores dan Aceh, saat produsen cokelat premium Jerman memesan ratusan ton kakao organik Trinitario dari petani lokal untuk memenuhi permintaan pasar Eropa.
Contoh-contoh nyata ini menegaskan daya tarik besar produk organik, harga premium, akses pasar ekspor yang lebih luas, dan citra positif keberlanjutan. Permintaan global terhadap produk organik terus meningkat seiring tren gaya hidup sehat dan peduli lingkungan, terutama di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur. Bagi negara produsen seperti Indonesia, ini ibarat tiket VIP menembus pasar ekspor bernilai tinggi.
Label organik pada komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, teh, hingga minyak kelapa, menjadi “paspor emas” untuk memasuki segmen pasar premium dunia. Pembeli di negara maju bersedia membayar mahal demi produk berlabel organik berkualitas. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan pembeli Eropa secara aktif mencari kakao organik, teh organik, dan kopi specialty Indonesia untuk dijual di toko premium dengan harga lebih tinggi.
Antusiasme itu terlihat jelas saat pameran Biofach 2023 di Jerman, ajang produk organik terbesar dunia, ketika Paviliun Indonesia mencatat potensi transaksi ekspor hingga US$2,07 juta (sekitar Rp34 miliar) hanya dalam tiga hari. Secara global, luas lahan pertanian organik mencapai hampir 99 juta hektare pada 2023, dengan nilai penjualan dunia sekitar US$129 miliar, dan tren pertumbuhannya terus meningkat seiring kepedulian terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Baca juga: Kisah Alexius Atep, Pilih Pertanian Organik dan Agroforestri hingga Raih Penghargaan Lingkungan
Pasar ekspor organik memberikan nilai tambah nyata bagi petani dan eksportir Indonesia. Produk berlabel organik kerap dihargai premium dan permintaannya relatif stabil. Pembeli segmen ini umumnya loyal, berasal dari kalangan berdaya beli tinggi yang mengutamakan keberlanjutan dan kesehatan.
Hubungan dagang yang terbangun pun lebih resilien karena importir sering menawarkan kontrak jangka panjang, pendampingan teknis, hingga akses pembiayaan hijau bagi petani. Dengan kata lain, mengekspor komoditas bersertifikat organik dapat membuka peluang kemitraan yang menguntungkan petani di daerah penghasil.
Hal ini semakin relevan mengingat Indonesia adalah raksasa agribisnis tropis—dari kelapa sawit, kopi, kakao, hingga rempah, yang menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi penopang utama devisa negara. Tidak hanya di mancanegara, permintaan produk organik dalam negeri pun tumbuh seiring meningkatnya kesadaran kelas menengah terhadap gaya hidup sehat.
Survei menunjukkan lebih dari dua pertiga konsumen Indonesia kini lebih teliti membaca label pangan dan memperhatikan bahan yang digunakan. Kekhawatiran terhadap dampak pestisida, pewarna, dan pengawet kimia mendorong pergeseran perilaku konsumsi menuju produk alami dan organik.
Tren ini semakin kuat pascapandemi COVID-19, ketika masyarakat mulai menaruh perhatian besar pada imunitas dan kesehatan jangka panjang. Nilai penjualan makanan dan minuman organik di Indonesia pada 2023 tercatat sekitar US$1,15 miliar (Rp15 triliun) menjadikan Indonesia pasar organik terbesar ketiga di Asia setelah Tiongkok dan Jepang. Meski konsumsi per kapita domestik masih relatif kecil, proyeksi pertumbuhannya mencapai 7–8 persen per tahun hingga 2028, menandakan potensi yang sangat menjanjikan.
Peningkatan permintaan ini juga tampak dari makin mudahnya menemukan produk organik di pasar ritel perkotaan. Supermarket besar, toko swalayan, hingga online store kini menawarkan beragam pilihan, beras organik, gula kelapa organik, minyak kelapa organik, rempah, hingga teh dan kopi organik lokal. Tantangannya, harga produk organik lokal masih relatif lebih mahal dibanding produk konvensional, membuat pasar domestik masih terbatas pada segmen menengah atas.
Pertumbuhan ekonomi berbasis organik membawa angin segar bagi daerah penghasil komoditas perkebunan. Dengan beralih ke praktik organik, petani dapat menikmati nilai tambah yang signifikan. Kopi organik, misalnya, dapat dihargai hingga dua kali lipat dari kopi biasa, sementara lada, kayu manis, dan pala organik memiliki pasar ekspor yang menjanjikan dengan harga premium.
Pola pertanian organik juga mendorong efisiensi berkelanjutan: petani diajak membuat pupuk kompos sendiri, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, sekaligus memperbaiki kesuburan tanah.
Baca juga: Pertanian Organik Jadi Kunci Ketahanan Pangan, tapi Hadapi Banyak Tantangan
Tentu, meraih semua peluang di atas bukan tanpa tantangan. Beralih ke pertanian organik pada komoditas perkebunan skala luas menghadapi sejumlah kendala yang perlu diatasi bersama. Pertama, sertifikasi organik yang masih mahal dan rumit menjadi hambatan besar bagi petani kecil.
Untuk menjual produk berlabel organik, petani wajib memiliki sertifikat resmi yang memerlukan biaya audit dan dokumentasi tinggi. Tidak sedikit petani yang sudah menerapkan praktik organik akhirnya urung mengurus sertifikat karena terbebani biaya. Harmonisasi standar nasional dengan standar ekspor juga perlu agar pengakuannya lebih luas.
Selain itu, pasar ekspor menuntut pasokan berkelanjutan dalam volume besar, sedangkan lahan organik kita masih terbatas. Luasan kopi organik Indonesia, misalnya, baru sekitar 31 ribu hektar, hanya sebagian kecil dari total kebun kopi nasional. Kakao dan rempah organik juga masih berskala kecil dan tersebar, membuat suplai tidak stabil. Transisi ke organik juga sering menurunkan hasil panen sementara karena adaptasi tanah dan tanaman. Karena itu, pembentukan kelompok tani organik dan kemitraan dengan eksportir yang memberi kepastian pembelian menjadi kunci menjaga semangat petani dan kontinuitas pasokan.
Tantangan lain muncul dari sisi harga dan pasar. Produk organik umumnya dijual lebih mahal karena biaya produksinya lebih tinggi, dari pupuk alami, pengendalian hama manual, hingga sertifikasi. Akibatnya, pasar domestik masih terbatas pada konsumen berpenghasilan menengah ke atas. Maka, edukasi publik sangat dibutuhkan agar masyarakat memahami nilai tambah dan manfaat produk organik bagi kesehatan dan lingkungan.
Semakin banyak konsumen sadar akan hal ini, semakin besar peluang pertumbuhan pasar dan penurunan harga karena skala ekonomi tercapai. Beberapa daerah seperti Bali telah menunjukkan terobosan dengan regulasi lokal dan lembaga sertifikasi mandiri untuk menekan biaya sertifikasi petani. Inisiatif serupa patut diperluas ke sentra-sentra perkebunan lain.
Selain itu, infrastruktur pendukung seperti laboratorium uji residu, fasilitas penyimpanan hasil, hingga logistik rantai dingin perlu diperkuat agar kualitas produk tetap terjaga. Membangun ekosistem pasar organik yang utuh, mulai dari bibit, budidaya, hingga pemasaran, menjadi pekerjaan besar, namun di situlah letak masa depan pertanian berkelanjutan Indonesia.
Baca juga: Berkat Pertanian Organik, Petani Blora Lepas dari Ketergantungan Pupuk Kimia
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang