INDONESIA, dengan kekayaan alam dan iklim tropisnya, memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam pasar cokelat premium global.
Kakao yang dihasilkan oleh jutaan petani kecil di Sulawesi, Sumatera, dan Papua menyimpan keunikan rasa serta karakteristik khas yang belum sepenuhnya tergali.
Keunggulan geografis Indonesia memberikan kakao lokal profil rasa unik, dengan variasi tanah dan iklim yang berkontribusi terhadap kompleksitas cita rasa yang diminati pasar internasional.
Namun, di balik potensi besar ini, industri kakao nasional menghadapi tantangan yang tidak mudah, mulai dari rendahnya produktivitas hingga lemahnya kualitas pascapanen
Ironisnya, meskipun Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, negara ini masih mengimpor 133.000 ton biji kakao pada 2021 dengan nilai Rp 4,8 triliun (BPS, 2022) karena produksi dalam negeri belum memenuhi standar kualitas dan kuantitas.
Namun, dengan komitmen dan strategi yang tepat, Indonesia dapat membalikkan keadaan ini. Dengan transformasi dari komoditas mentah menjadi produk bernilai tinggi, bukan tidak mungkin cokelat premium Indonesia akan mendominasi pasar global, membawa kesejahteraan bagi petani, serta menjadi kebanggaan nasional.
Jika tantangan ini dapat diatasi melalui strategi yang tepat, bukan mustahil bahwa kakao Indonesia akan menjadi primadona dalam industri cokelat premium dunia, membawa kesejahteraan bagi petani dan kebanggaan bagi bangsa.
Masa depan kakao Indonesia bukan sekadar tentang produksi biji kakao, tetapi tentang membangun identitas (branding), kualitas, dan keberlanjutan yang diwariskan kepada generasi mendatang.
Dengan upaya bersama antara petani, pemerintah, dan industri, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan kakao sebagai komoditas unggulan yang diakui dunia.
Baca juga: Sensasi Pedas Jaman Majapahit: Memanfaatkan Kembali Cabai Jawa
Keunggulan geografis dan karakteristik rasa kakao Indonesia menjadikannya bahan yang berpotensi tinggi untuk cokelat premium.
Kakao yang berasal dari Sulawesi, misalnya, dikenal memiliki profil rasa khas yang dipengaruhi faktor tanah dan metode budidaya lokal.
Selain itu, biji kakao Indonesia juga memiliki daya tahan terhadap suhu tinggi, sebuah karakteristik yang sangat penting bagi produsen cokelat artisan yang memerlukan stabilitas dalam proses produksi.
Keunikan ini mulai menarik perhatian industri cokelat global, terutama mereka yang mengutamakan kualitas bahan baku eksklusif.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia juga mengalami peningkatan signifikan dalam ekspor produk olahan kakao.
Data BPS menyebutkan, nilai ekspor produk olahan kakao Indonesia pada 2022 mencapai sekitar 1,19 miliar dollar AS (setara Rp17,76 triliun).
Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pengolah kakao terbesar kedua di dunia, terutama dalam kategori mentega, lemak, dan minyak kakao.
Tren ini membuka peluang untuk menggeser fokus dari ekspor biji mentah ke pengembangan produk bernilai tambah, termasuk cokelat premium.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar global adalah melalui sertifikasi Indikasi Geografis (GI).
Baca juga: Kapulaga: Rempah Bernilai Tinggi untuk Kesehatan dan Ekspor
Sejumlah daerah penghasil kakao, seperti Kakao Berau, telah mendapatkan status GI yang membuktikan bahwa kakao Indonesia mampu bersaing di segmen premium.
Status ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi produk, tetapi juga melindungi identitas lokal dari eksploitasi pasar global.
Integrasi kakao Indonesia dalam rantai pasok global juga semakin terbuka dengan adanya kolaborasi dengan produsen cokelat GI Eropa, seperti Cioccolato di Modica.
Dengan terus memperluas sertifikasi dan menjaga kualitas produksi, kakao Indonesia berpotensi menjadi bahan utama dalam industri cokelat premium dunia.
Meskipun memiliki potensi besar, industri kakao Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas.
Salah satu kendala utama adalah usia tanaman yang semakin tua dan menyebabkan penurunan hasil panen.
Saat ini, lebih dari 90 persen perkebunan kakao dikelola oleh petani kecil dengan tanaman berusia di atas 25 tahun, sehingga produktivitasnya terus menurun.
Data menunjukkan bahwa hasil panen per hektar di Sulawesi Selatan mengalami penurunan dari 0,77 ton pada 2009 menjadi 0,61 ton pada 2018. Jika tidak segera dilakukan peremajaan, ada risiko besar bahwa lahan kakao akan beralih ke komoditas lain.
Saat ini, kualitas pascapanen yang rendah menjadi penghambat utama bagi ekspor kakao Indonesia.
Menurut data Pusdatin, Kementan, pada tahun 2022, ekspor kakao Indonesia didominasi oleh produk olahan/manufaktur, mencapai 94,96 persen dari total ekspor, sementara hanya 5,04 persen yang diekspor dalam bentuk biji kakao mentah.
Mengenai kualitas, sebagian besar biji kakao yang diproduksi di Indonesia memang tidak melalui proses fermentasi optimal, yang berdampak pada rendahnya mutu biji kakao.
Hal ini menyebabkan biji kakao Indonesia sering kali dikategorikan sebagai berkualitas rendah di pasar internasional.
Baca juga: Mengenal Gula Bit: Inovasi Pemanis
Proses fermentasi yang buruk menyebabkan harga biji kakao Indonesia di pasar internasional mengalami pemotongan hingga 10-15 persen.
Selain kendala produksi dan pascapanen, serangan hama dan perubahan iklim juga menjadi tantangan serius bagi petani kakao.
Hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD) dapat menyebabkan kehilangan hingga 40 persen hasil panen.
Sementara itu, perubahan iklim yang ditandai dengan pola hujan tidak menentu dan peningkatan suhu turut mengganggu siklus tanam.
Faktor-faktor ini semakin diperparah dengan keterbatasan akses petani terhadap teknologi, varietas unggul, pupuk, dan pelatihan teknik budidaya modern.
Untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar global, perlu dilakukan revolusi dalam proses pascapanen serta standarisasi mutu.
Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI 2323-2008) untuk biji kakao harus diperkuat dengan memberikan insentif bagi petani yang menerapkan fermentasi yang baik.
Selain itu, perlu dilakukan pelatihan teknis dan pendampingan oleh lembaga seperti Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan (PSI Perkebunan) agar petani dapat meningkatkan kualitas hasil panennya.
Upaya peremajaan tanaman juga harus menjadi prioritas melalui program seperti Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao).
Program ini dapat diperkuat dengan mengganti tanaman tua dengan varietas unggul tahan hama, seperti Sulawesi 2 dan Sulawesi 3.
Baca juga: Bahan Bakar Nabati Alternatif Selain Sawit
Selain itu, pemerintah perlu memberikan subsidi untuk pupuk dan alat pertanian modern guna menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi budidaya.
Di sisi hilirisasi, diversifikasi produk olahan berbasis kakao dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi industri kakao nasional.
Konsep bean-to-bar, yang mengedepankan single-origin chocolate, dapat didukung dengan pelatihan bagi industri kecil dan menengah (IKM) serta petani.
Selain itu, kolaborasi dengan sektor pariwisata, seperti program tur kebun kakao, dapat menjadi strategi efektif memperkenalkan cokelat premium Indonesia ke pasar global.
Dalam skala internasional, kemitraan dengan organisasi seperti ICCO dan Uni Eropa dapat membuka akses pasar serta meningkatkan transfer teknologi.
Sertifikasi keberlanjutan, seperti Rainforest Alliance dan Indikasi Geografis, harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa kakao Indonesia memenuhi standar premium.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Ads may you like
Advertisement