TANTANGAN terbesar yang dihadapi industri kopi nasional terletak di sektor hulu. Membentang dari rendahnya tingkat produktifitas, alih fungsi lahan kebun eksisting, ekstensifikasi yang lambat, kompleksitas rantai pasok, dampak perubahan iklim.
Masalah lain adalah minat generasi muda untuk terjun di hulu masih kurang. Mereka lebih memilih di hilir.
Pada akhirnya, akumulasi berbagai persoalan ini membuat produksi kopi Indonesia belum mencapai berkelanjutan.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat produksi kopi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 654.000 ton atau setara 6 persen dari total produksi kopi dunia yang mencapai 10,49 juta ton.
Dengan angka tersebut, menempatkan Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ke empat di dunia, setelah Brasil (3,984 juta ton), Vietnam (1,806 juta ton), dan Kolombia (774.000 ton).
Tanpa perbaikan di sektor hulu, Indonesia akan sulit menggeser Kolombia, bahkan terancam tergeser dari empat besar oleh Ethiopia.
Padahal, dari sisi luas areal perkebunan kopi, Indonesia tidak kalah dibandingkan Vietnam.
Baca juga: Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Data Kementerian Pertanian mencatat, luas tanam kopi mencapai 1,25 juta hektar. Namun dari sisi produktivitas, angkanya masih sangat rendah, hanya 0,8 – 1 ton per hektar. Sebagai perbandingan, Brasil bisa menghasilkan 2-3 ton per hektar.
Produktiftas yang rendah adalah akumulasi dari berbagai faktor: tanaman yang tidak terawat, dominasi pohon tua (peremajaan tidak berjalan), dan sebagainya.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian serius, terutama bagi Kementan dalam perbaikan perkebunan kopi rakyat dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perhutani dalam pengembangan dan pengelolaan kebun kopi melalui skema kemitraan dengan masyarakat desa hutan, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sebagai holding untuk menambah areal tanam (ekstensifikasi) seperti yang dilakukan di Kawasan Pegunungan Ijen.
Sementara itu, di sektor hilir, ekspor kopi Indonesia masih didominasi produk bentuk green bean.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor kopi Indonesia 2024 sebesar 1,638 juta dolar AS. Tantangannya kedepan adalah bagimana mendorong peningkatan ekspor produk bernilai tambah seperti kopi instan dan kopi kemasan premium.
Mengingat tren pasar global semakin mengarah pada kopi spesialti, yang nilai jualnya 5–10 kali lebih tinggi dibandingkan green bean, maka tidak ada pilihan selain penguatan ekspor produk olahan.
Tantangan terbesar di sektor hilir adalah hanya sebagian kecil pelaku usaha dalam negeri yang mampu menembus pasar premium secara konsisten. Tantangan yang dihadapi adalah kualitas pascapanen dan keterbatasan akses ke pasar internasional.
Indonesia sangat berpeluang menjadi pusat kopi global. Oleh karena itu, mesti ada kesadaran penuh dan agenda transformasi yang terintegrasi hulu-hilir agar potensi yang dimiliki bisa menjadi kenyataan.
Pertama, revitalisasi perkebunan kopi. Percepatan peremajaan tanaman kopi tua (replanting), penggunaan varietas unggul, dan penerapan teknologi pascapanen merupakan suatu keharusan.
Baca juga: Fluktuasi Harga Kopi dan Insentif bagi Petani Indonesia
Pemerintah mesti segera melaksanakan program revitalisasi kopi seluas 40.000 hektar hingga 2026. Untuk mempercepat implementasinya, sinergi berbagai stakeholder menjadi mendesak dan diikuti dengan insentif bagi petani muda – menjadi pemantik untuk regenerasi petani.
Pendampingan koperasi tani, sertifikasi, dan digitalisasi rantai pasok menjadi fondasi utama untuk memperkuat ekosistemnya.
Kedua, hilirisasi dan branding produk kopi Indonesia. Saat ini, 95 persen pelaku industri kopi di Indonesia merupakan usaha kecil dan menengah (UKM). Mereka menghadapi keterbatasan permodalan dan akses pasar.
Pemerintah perlu memperkuat kebijakan hilirisasi di sektor ini, misalnya, dengan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor pangan untuk industri pengolahan kopi, serta memperluas akses ke pasar ekspor melalui platform digital dan kemitraan dengan BUMN.
Di sisi lain, pasar kopi siap saji global diperkirakan tumbuh 6,8 persen per tahun dan pada 2027 secara global diperkirakan mencapai 42 miliar dolar AS.
Indonesia harus menangkap peluang ini dengan memperkuat branding produk lokal dan membangun ekosistem kreatif: kedai kopi lokal, pusat pelatihan barista, dan pusat inovasi cita rasa.
Ketiga, diplomasi kopi dan penguatan posisi di pasar dunia. Indonesia perlu memperkuat diplomasi kopi, menjadikan kopi sebagai bagian dari citra nasional dalam forum internasional.
Contoh yang bisa dipelajari adalah Vietnam yang kini menjadi eksportir kopi olahan terbesar kedua di dunia, berkat agresivitas mereka dalam promosi kopi robusta instan dan masuknya investasi asing di sektor hilir.
Strategi promosi seperti ‘Indonesia Coffee Weeks’ di Eropa atau di Asia Timur, festival kopi nasional yang menghadirkan investor internasional, dan berbagai strategi lainnya.
Baca juga: Sentuhan Barista Difabel di Secangkir Kopi
Keempat, dunia usaha perlu masuk lebih dalam. Menurut Kementerian Perindustrian, baru 60 unit industri pengolahan kopi skala besar yang tercatat aktif di Indonesia.
Diperlukan kawasan industri kopi terpadu yang menghubungkan petani, pengolah, logistik, dan eksportir dalam satu rantai nilai.
Insentif fiskal untuk investor yang membangun industri hilir di sentra produksi harus dioptimalkan.
Pada akhirnya transformasi kopi Indonesia menjadi pusat kopi global bukan sekadar urusan soal ekonomi, tapi juga narasi kultural.
Ketika kopi Indonesia hadir di kafe-kafe di London, New York, Milan, dan kota metropolitan lainnya, maka kopi Indonesia membawa serta cerita tentang petani kopi di berbagai pelosok nusantara.
Indonesia sebagai pusat kopi global bukan hanya mengangkat industri nasional, tetapi memperkuat citra Indonesia di panggung global.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.