
INDONESIA pernah berjaya sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, industri kakao nasional menghadapi krisis pasokan yang cukup serius. Di satu sisi, kapasitas industri pengolahan kakao dalam negeri meningkat pesat dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu eksportir produk olahan kakao terkemuka di dunia. Di sisi lain, pasokan biji kakao mentah justru menurun drastis, menyebabkan kelangkaan bahan baku di dalam negeri.
Ironisnya, negeri penghasil kakao ini kini harus mengimpor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Fenomena ini tidak terlepas dari lonjakan harga kakao global serta berbagai tantangan di sektor hulu.
Ke depan, solusi konkret perlu dijalankan secara konsisten oleh semua pihak, khususnya dalam peningkatan produksi biji kakao dalam negeri. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat pendampingan bagi petani, terutama dalam program replanting, agar bibit unggul benar-benar sampai dan ditanam dengan baik.
Pengawasan dan edukasi terkait hama serta dampak perubahan iklim juga perlu digencarkan karena dua faktor ini sangat mempengaruhi produktivitas kebun kakao. Dukungan terhadap riset pertanian harus ditingkatkan guna melahirkan varietas unggul yang tahan penyakit dan berproduktivitas tinggi. Selain itu, kemitraan antara petani, koperasi, dan industri perlu diperluas untuk menciptakan pola rantai pasok yang saling menguntungkan.
Baca juga: Dilema Industri Kakao Indonesia: Kualitas dan Importasi
Pemerintah menyadari peran strategis mereka dalam mengatasi krisis pasokan kakao nasional. Salah satu strategi utama yang dijalankan adalah program hilirisasi perkebunan, termasuk untuk komoditas kakao. Upaya ini mencakup peningkatan produksi di kawasan sentra kakao nasional, serta pengembangan industri pengolahan hasil kakao di dalam negeri.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menegaskan pentingnya menghentikan ekspor biji kakao mentah. “Kita tidak boleh lagi menjual bahan mentah,” ujarnya, menandai tekad pemerintah untuk mengubah paradigma ekspor Indonesia, dari sekadar penjual bahan baku menjadi produsen produk olahan seperti cokelat, bubuk kakao, dan lemak kakao berkualitas.
Pemerintah berharap hilirisasi tidak hanya memperkuat struktur industri kakao nasional, tetapi juga menumbuhkan semangat baru di kalangan muda untuk berinovasi dan terlibat langsung dalam pengembangan sektor ini.
Selain hilirisasi, pemerintah juga meluncurkan program peremajaan (replanting) kakao secara nasional untuk memperkuat pasokan di hulu. Kementan menargetkan replanting seluas 248.500 hektare hingga 2027, dengan dukungan dana APBN, bantuan bibit unggul, serta pupuk subsidi. Program ini dijalankan bertahap, 4.266 hektare pada 2025, meningkat menjadi 175.500 hektare pada 2026, dan 68.734 hektare pada 2027.
Selain itu, pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kakao sebagai sumber pendanaan berkelanjutan dari hulu hingga hilir. Meniru keberhasilan BPDP Sawit, lembaga ini diharapkan mampu memperkuat pembinaan petani, riset, dan promosi ekspor. Dengan harga kakao dunia yang melonjak, keberadaan BPDP Kakao menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan mengembalikan kejayaan kakao Indonesia di pasar global.
Baca juga: Potensi Besar Kakao Indonesia, Tantangan Masih Menggunung
Di tengah tantangan pasokan bahan baku, industri kakao domestik menunjukkan ketangguhan melalui jalur inovasi. Perusahaan-perusahaan pengolahan kakao berlomba melakukan investasi pada teknologi terkini guna meningkatkan kapasitas produksi dan menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Lini tersebut dirancang mampu memproduksi bubuk kakao dan cocoa liquor dengan profil rasa khusus, menyesuaikan selera konsumen global yang semakin beragam.
Investasi ini menunjukkan keyakinan pelaku industri global terhadap potensi Indonesia sebagai basis produksi kakao strategis di kawasan. Dengan mengadopsi teknologi manufaktur mutakhir dan riset pengembangan produk yang mumpuni, industri kakao nasional semakin mampu berinovasi cepat dan menyesuaikan produk dengan tren pasar.
Strategi ini juga sejalan dengan pendekatan near-shoring, yaitu mendekatkan lokasi produksi ke pasar konsumen untuk memastikan kelancaran rantai pasok. Tak hanya itu, geliat industri kakao juga bergerak ke arah pengembangan produk-produk niche berkelas tinggi. Munculnya puluhan produsen cokelat artisan, khususnya dari kategori bean-to-bar, mendorong semaraknya inovasi di sektor hilir.
Kemenperin mencatat bahwa pada 2025 terdapat 47 produsen cokelat artisan di Indonesia, naik dari 31 perusahaan pada 2023. Para pelaku ini menghadirkan produk dengan cita rasa lokal, desain kemasan atraktif, serta penggunaan biji kakao fermentasi dalam negeri.
Produk cokelat premium lokal pun makin diminati, tidak hanya oleh konsumen domestik tetapi juga mulai menembus pasar ekspor. Pemerintah optimistis geliat sektor artisan ini akan meningkatkan penyerapan kakao lokal sekaligus memperkuat nilai tambah industri kakao nasional secara keseluruhan.
Baca juga: Kopi dan Kakao Indonesia Laris Manis di Luar Negeri
Sumber inovasi juga berasal dari ranah riset dan praktik pertanian berkelanjutan. Kementerian Pertanian, Riset Perkebunan Nusantara (RPN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah merilis beberapa varietas unggul baru kakao yang memiliki keunggulan produktivitas dan ketahanan terhadap hama.