Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Dilema Industri Kakao Indonesia: Kualitas dan Importasi

Kompas.com - 22/09/2025, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA pernah menempati posisi ketiga produsen kakao dunia dengan produksi puncak mencapai 844.000 ton pada 2010. Namun, data terkini menunjukkan tren menurun.

Produksi kakao pada 2023 hanya sekitar 632.100 ton, turun dari 734.800 ton pada 2019. Tahun 2022 pun produksinya hanya sekitar 667.300 ton.

Penurunan ini juga diiringi dengan menyusutnya luas areal perkebunan kakao dari 1,56 juta hektar pada 2019 menjadi 1,39 juta hektar pada 2023.

Secara keseluruhan, meskipun permintaan global terhadap cokelat terus meningkat, produksi kakao nasional justru stagnan dan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Di tengah penurunan produksi domestik tersebut, kebutuhan bahan baku industri pengolahan tetap tinggi sehingga impor kakao melonjak.

Pada 2021, Indonesia mengimpor sekitar 133.000 ton biji kakao mentah dengan nilai ratusan juta dollar AS. Pada 2023, jumlahnya tercatat 74.750 ton.

Perbedaan angka ini menunjukkan fluktuasi tajam, sementara kebutuhan industri pengolahan sebenarnya jauh lebih besar. Kebutuhan bahan baku diperkirakan hampir 400.000 ton per tahun.

Tren ini makin jelas pada awal 2025, ketika nilai impor kakao dan olahannya melonjak 119 persen secara bulanan, dari 140 juta dollar AS pada Desember 2024 menjadi 304,4 juta dollar AS pada Januari 2025.

Baca juga: Kopi Lampung, dari Kebun ke Dunia

Sebagian besar impor berupa biji kakao mentah dari Ekuador. Lonjakan impor ini terutama ditujukan untuk memenuhi kapasitas pabrik pengolahan yang terus meningkat, khususnya dalam produksi ekspor seperti mentega kakao dan lemak kakao.

Dilema industri pengolahan dan importasi

Harga kakao lokal dan impor kini memperlihatkan jurang yang semakin lebar. Data menunjukkan rata-rata harga biji kakao kering non-fermentasi dari petani sekitar Rp 70.000 per kilogram, sementara kakao fermentasi lokal sedikit lebih tinggi, yakni Rp 79.000 per kilogram.

Namun, harga kakao fermentasi impor sempat melonjak tajam hingga sekitar Rp 139.000 per kilogram pada September 2024.

Ironisnya, meski harga impor jauh lebih mahal, industri pengolahan di dalam negeri tetap lebih memilih mendatangkan bahan baku dari luar negeri.

Alasan utamanya, pasokan domestik terbatas dan mutu biji kakao fermentasi lokal masih belum konsisten.

Kondisi ini memperparah paradoks, di mana kapasitas pabrik olahan meningkat pesat, sementara produksi nasional justru menurun dan hanya mampu memenuhi sebagian kecil kebutuhan industri.

Industri beralasan bahwa impor lebih menjamin kualitas dan ketersediaan bahan baku. Fermentasi biji kakao di tingkat petani sering kali tidak dilakukan dengan benar, sehingga kualitas tidak memenuhi standar ekspor maupun kebutuhan industri dalam negeri.

Padahal, pemerintah telah menetapkan standar mutu melalui SNI 2323-2008 yang menekankan fermentasi sebagai prasyarat, namun penerapannya belum meluas karena keterbatasan dukungan teknis di tingkat petani.

Konsistensi mutu yang lemah membuat pabrik lebih percaya kepada pasokan impor, meskipun harus membayar lebih mahal.

Ditambah lagi, kebijakan fiskal yang melonggarkan PPN impor membuat bahan baku dari luar negeri semakin mudah diakses.

Akibatnya, industri cenderung lebih fokus meningkatkan kapasitas produksi berbasis impor, ketimbang menyerap hasil panen petani lokal yang sebenarnya memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik.

Baca juga: Kedaulatan dari Sebatang Cokelat

Dampak dari fenomena ini sangat dirasakan petani kecil, yang menjadi tulang punggung perkebunan kakao nasional.

Serapan kakao lokal menurun drastis, harga stagnan, dan pendapatan petani tidak kunjung membaik.

Banyak pekebun akhirnya memilih mengalihkan lahannya ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit atau karet.

Pergeseran ini semakin menggerus luas perkebunan kakao nasional, yang sudah sejak lama menghadapi tantangan produktivitas akibat tanaman tua, serangan hama, dan perubahan iklim.

Bila tren ini dibiarkan, maka Indonesia akan kehilangan salah satu komoditas unggulan yang pernah membawanya masuk ke jajaran produsen kakao terbesar dunia.

Untuk keluar dari dilema ini, perlu ada intervensi yang serius dan terarah. Pemerintah bersama pelaku industri harus memperkuat rantai pasok hulu melalui program replanting kebun tua, penyediaan benih unggul, serta pelatihan fermentasi yang tepat bagi petani.

Insentif harga bagi kakao fermentasi bermutu juga mutlak diperlukan agar petani memiliki motivasi ekonomi untuk menghasilkan biji berkualitas.

Lebih dari itu, kemitraan langsung antara pabrik dan kelompok tani perlu diperluas, sehingga petani tidak lagi berjalan sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari rantai nilai industri kakao.

Indonesia sejatinya memiliki modal besar berupa pengalaman panjang sebagai produsen kakao utama dan dukungan industri hilir yang berkembang pesat.

Jika hulu diperkuat dan mutu biji lokal terjamin, maka industri tidak perlu lagi bergantung pada impor dalam jumlah besar.

Lebih penting lagi, petani akan mendapatkan nilai tambah lebih adil, kesejahteraan meningkat, dan daya saing kakao Indonesia di pasar global kembali menguat.

Tantangan rantai pasok kakao

Rantai pasok kakao Indonesia juga menghadapi masalah struktural serius. Perluasan lahan terhambat oleh alih fungsi ke komoditas lain, sementara sebagian besar kebun yang ada sudah berumur puluhan tahun sehingga produktivitas per pohon menurun.

Upaya peremajaan belum merata, membuat banyak kebun kehilangan potensi optimal. Akibatnya, meski permintaan industri terus meningkat, suplai biji kakao domestik cenderung stagnan, bahkan menurun.

Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik

Mayoritas kebun kakao dikelola oleh petani kecil dengan lahan terbatas. Mereka menghadapi keterbatasan modal, teknologi, dan fasilitas panen maupun pascapanen.

Kondisi ini membuat tanaman tua kurang terawat, sehingga rentan terhadap hama dan penyakit seperti penggerek buah kakao (PBK) dan VSD.

Ditambah lagi, biaya pupuk dan tenaga kerja yang terus naik semakin menekan petani. Kombinasi faktor ini mengurangi ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan, meski kapasitas pabrik terus tumbuh.

Di sisi hilir, Indonesia justru mencatat prestasi gemilang. Ekspor produk olahan pada 2022 mencapai 327.000 ton senilai lebih dari 1 miliar dollar AS, menempatkan Indonesia sebagai eksportir cocoa butter terbesar kedua dunia setelah Belanda.

Terdapat lebih dari 11 pabrik pengolahan besar dengan kapasitas total hampir 740.000 ton per tahun, belum termasuk industri kecil dan produsen cokelat bean-to-bar.

Produk olahan seperti cocoa butter dan lemak kakao menembus pasar premium global. Namun, keberhasilan hilirisasi ini juga menyingkap paradoks, industri terpaksa mengimpor biji kakao dalam jumlah besar karena pasokan lokal tidak mencukupi.

Berbagai program telah digulirkan untuk mengatasi paradoks tersebut. Pemerintah menyalurkan anggaran besar untuk replanting dan perluasan kebun.

Kementerian Pertanian telah merancang strategi peningkatan produksi melalui program hilirisasi mulai tahun ini, sementara industri nasional juga telah aktif membina petani melalui sertifikasi, transfer teknologi, dan kemitraan riset.

Kolaborasi lintas sektor ini menjadi kunci. Dengan konsistensi program, produktivitas dapat meningkat, mutu biji terjamin, dan industri pengolahan tumbuh tanpa harus bergantung berlebihan pada impor.

Jalan panjang memang masih terbentang, tetapi peluang memperkuat posisi Indonesia di rantai nilai kakao global tetap terbuka lebar.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Dilema Industri Kakao Indonesia: Kualitas dan Importasi
Dilema Industri Kakao Indonesia: Kualitas dan Importasi
Varietas Tanaman
Menakar Potensi Ekspor Lada Putih Muntok
Menakar Potensi Ekspor Lada Putih Muntok
Varietas Tanaman
Gula Kelapa Banyumas: Warisan, Rasa, dan Asa
Gula Kelapa Banyumas: Warisan, Rasa, dan Asa
Varietas Tanaman
Transformasi Perkebunan yang Inkusif
Transformasi Perkebunan yang Inkusif
Varietas Tanaman
Mungkinkah Indonesia Jadi Pusat Kopi Global?
Mungkinkah Indonesia Jadi Pusat Kopi Global?
Varietas Tanaman
Bisnis Domestik dan Ekspor Kacang Mete
Bisnis Domestik dan Ekspor Kacang Mete
Varietas Tanaman
Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Varietas Tanaman
Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Varietas Tanaman
Masa Depan Industri Tembakau Indonesia
Masa Depan Industri Tembakau Indonesia
Varietas Tanaman
Menggali Potensi Devisa dari Ekspor Lada Indonesia
Menggali Potensi Devisa dari Ekspor Lada Indonesia
Varietas Tanaman
Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh
Revitalisasi Kebun Teh
Tips
Kelapa: Komoditas Strategis, Nasib Petani, dan Arah Kebijakan
Kelapa: Komoditas Strategis, Nasib Petani, dan Arah Kebijakan
Varietas Tanaman
Menguatkan Posisi Teh Indonesia di Pasar Global
Menguatkan Posisi Teh Indonesia di Pasar Global
Varietas Tanaman
Kebangkitan Petani dan Semangat Nasionalisme Baru
Kebangkitan Petani dan Semangat Nasionalisme Baru
Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau