
LANGIT cerah menyambut kedatangan saya di Halmahera Utara, Maluku Utara. Sepanjang mata memandang, lanskap desa-desa di kawasan ini dipenuhi hamparan pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Tak heran daerah ini kerap dijuluki “negeri seribu kelapa”, saking melimpahnya sumber daya kelapa di setiap penjuru.
Ironisnya, meski potensi kelapa begitu melimpah, kesejahteraan para petani kelapa setempat masih jauh dari optimal.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara pernah menyoroti bahwa melimpahnya potensi kelapa di daerah ini belum dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan petaninya.
Artinya, selama bertahun-tahun kekayaan “emas hijau” ini belum memberikan nilai tambah berarti bagi masyarakat lokal.
Di banyak tempat penjuru Nusantara, buah kelapa hanya diambil dagingnya untuk dibuat kopra atau santan, serta airnya untuk diminum. Sementara bagian lainnya, sabut dan tempurung, kerap terbuang percuma.
Baca juga: Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Pola lama ini membuat nilai ekonomi kelapa tidak optimal. Petani menjual kelapa dalam bentuk mentah atau kopra dengan harga murah, sehingga keuntungan terbesar dinikmati pihak lain di rantai hilir.
Kawasan Maluku Utara pun tak luput dari pola tersebut, sebelum munculnya inisiatif hilirisasi industri kelapa di daerah ini.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan besarnya potensi komoditas kelapa di Maluku Utara, yang memiliki sekitar 204.000 hektare kebun kelapa dan dikelola oleh sekitar 116.000 petani.
Sejak masa kolonial, kelapa telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Halmahera Utara. Awalnya ditanam untuk kebutuhan rumah tangga sebelum berkembang menjadi komoditas perdagangan.
Namun, rantai bisnis kelapa tradisional masih terhenti pada tahap produksi kopra bernilai rendah. Petani hanya menjual kelapa mentah atau membuat kopra kering untuk dijual ke pengepul, sehingga nilai tambah produk banyak hilang ketika dikirim keluar daerah.
Kondisi ini menyebabkan potensi ekonomi kelapa belum memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal.
Perputaran uang di desa-desa penghasil kelapa masih terbatas karena produk yang dihasilkan belum diolah lebih lanjut.
Seorang manager industri kelapa di sana menyebut harga kelapa mentah di tingkat petani beberapa waktu lalu, hanya sekitar Rp 1.000 per butir. Padahal bila diolah menjadi produk turunan seperti santan atau air kelapa, nilainya bisa meningkat berkali lipat.
Hal ini menegaskan pentingnya hilirisasi agar masyarakat tidak sekadar menjadi pemasok bahan mentah, melainkan pelaku utama dalam rantai industri bernilai tinggi.
Kunjungan kami ke pabrik pengolahan kelapa terpadu di Desa Kupa-Kupa, Tobelo Selatan, memperlihatkan bagaimana hilirisasi dijalankan secara nyata.
Pabrik ini mampu mengolah hingga 600.000 butir kelapa per hari menjadi berbagai produk turunan seperti santan, air kelapa kemasan, minyak kelapa murni (VCO), tepung kelapa, serat sabut (coco fiber), cocopeat, dan arang briket ekspor.
Setiap bagian kelapa dimanfaatkan secara optimal tanpa limbah yang terbuang. Dengan kapasitas produksi mencapai sekitar 300 ton per bulan, produk olahan dari Tobelo telah menembus pasar internasional, termasuk China, Korea Selatan, Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda.
Lebih penting dari sekadar angka produksi adalah dampak ekonomi lokal yang mulai dirasakan.
Kehadiran pabrik kelapa di tengah perkebunan Tobelo Selatan memberi harapan baru bagi para petani dan pemuda setempat.
Baca juga: Menjaga Andaliman, Rempah Wangi yang Tak Tergantikan
Sebelumnya, banyak pemuda desa merantau karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah agraris ini. Kini, industri pengolahan kelapa menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah signifikan.
Ratusan pekerja, dari operator mesin, tenaga pengemasan, hingga staf lab quality control, tampak sibuk bekerja di pabrik.
Dari sisi petani, keberadaan pabrik juga membawa angin segar. Jika dulunya petani hanya mengandalkan penjualan kopra kering atau kelapa gelondongan melalui tengkulak, sekarang mereka memiliki alternatif menjual kelapa segar langsung ke pabrik dengan mekanisme kemitraan dan harga yang lebih layak.
Pabrik membutuhkan pasokan kelapa dalam jumlah besar dan berkelanjutan, sehingga membina jaringan dengan ribuan petani di Halmahera Utara.
Dengan adanya pembeli pasti, petani lebih bergairah merawat kebun dan meningkatkan produksinya.
Harga beli kelapa di tingkat petani cenderung lebih stabil dan tinggi, bahkan berpotensi lebih baik seiring meningkatnya permintaan pabrik.
Inisiatif hilirisasi ini telah mendorong “potential mapping” atau pemetaan potensi kebun kelapa di Tobelo dan sekitarnya, termasuk upaya peremajaan pohon kelapa tua yang sebelumnya kurang mendapat perhatian.
Dampak multiplayer efek pun mulai terasa. Pabrik kelapa ini menjadi motor penggerak ekonomi kawasan.
Usaha-usaha kecil pendukung bermunculan, warung makan di sekitar pabrik ramai dikunjungi karyawan, jasa transportasi lokal kebanjiran order mengangkut kelapa dari kebun ke pabrik.
Perputaran ekonomi lokal meningkat, mengikis perlahan angka pengangguran dan kemiskinan di pedesaan. Melihat manfaat yang nyata ini, pemerintah daerah dan investor kian optimistis.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian mendukung penuh langkah hilirisasi kelapa karena dampak ekonominya yang signifikan.
Saat ini, nilai ekspor kelapa Indonesia mencapai sekitar Rp 24 triliun per tahun. Namun jika seluruh hasil kelapa diolah di dalam negeri, nilainya bisa melonjak hingga 50–100 kali lipat.
Keberadaan industri olahan kelapa juga mendorong peningkatan standar kualitas dan inovasi produk nasional agar mampu bersaing di pasar global yang menuntut mutu internasional.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Dengan kebijakan yang tepat dan konsistensi pembangunan industri hilir, bukan tidak mungkin produk turunan kelapa dari Indonesia akan semakin mendominasi pasar dunia di masa depan.
Selain manfaat ekonomi, hadirnya pabrik kelapa memberikan dampak positif bagi lingkungan. Limbah sabut dan tempurung yang dulu menjadi masalah kini justru bernilai ekonomi tinggi.
Serat sabut diolah menjadi coco fiber untuk bahan kerajinan dan cocopeat untuk media tanam organik, keduanya laku di pasar ekspor, terutama untuk kebutuhan hortikultura organik.
Tempurung kelapa diubah menjadi arang briket ramah lingkungan yang menjadi alternatif pengganti arang kayu.
Pengelolaan limbah cair juga dilakukan dengan bijak, air kelapa yang dulu terbuang kini diolah menjadi minuman atau konsentrat nutrisi, sementara ampas kelapa dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan tepung kelapa.
Dengan sistem produksi tertutup (closed loop), hampir tidak ada limbah yang terbuang, menjadikan industri ini selaras dengan prinsip pembangunan hijau dan berkelanjutan.
Keberlanjutan industri ini juga diperkuat oleh program peremajaan dan penanaman kembali pohon kelapa yang dijalankan pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Ribuan bibit kelapa unggul ditanam di lahan yang pohonnya telah tua atau rusak untuk menjamin pasokan bahan baku sekaligus memperbaiki ekosistem lokal.
Upaya ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menyerap karbon dan menjaga keseimbangan alam.
Dari Halmahera Utara, kisah sukses hilirisasi kelapa menunjukkan bahwa dengan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, komoditas lokal dapat menjadi sumber kemandirian ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, wujud nyata dari kesejahteraan yang tumbuh dari akar bumi sendiri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang