
PALA (Myristica fragrans) bukan sekadar rempah beraroma tajam yang mengundang selera. Ia adalah kisah panjang tentang daya tarik Nusantara yang menembus batas samudra dan zaman. Dari Kepulauan Banda di Maluku hingga Pulau Siau di Sulawesi Utara, pala menjadi saksi bagaimana tanah air kita dahulu diperjuangkan, direbut, dan akhirnya diakui dunia karena kekayaan alamnya yang tak tertandingi.
Di masa kolonial, harga segenggam biji pala bisa menandingi emas. Kini, ratusan tahun berselang, keharuman pala masih menebar ke penjuru dunia, membawa serta harapan baru bagi ekonomi Indonesia modern.
Keistimewaan pala bukan hanya pada sejarahnya yang legendaris, tetapi juga pada perannya yang tetap vital hingga kini. Ia menjadi denyut ekonomi bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia, Maluku, Papua, dan Sulawesi Utara. Dari kebun yang teduh di lereng Gunung Karangetang hingga pohon-pohon tua di Banda yang masih kokoh berdiri, ribuan keluarga menggantungkan hidup dari panen rempah ini.
Tak berlebihan jika masyarakat Fakfak menyebutnya “bank hidup”. Dari satu pohon pala, mereka bisa menyekolahkan anak, membangun rumah, bahkan menabung untuk masa depan.
Baca juga: 9,5 Ton Pala Maluku Tembus Belanda, Petani Bidik Harga Lebih Tinggi
Di Pulau Siau, Sulawesi Utara, hampir 70 persen perputaran ekonomi masyarakat bersumber dari pala. Daging buahnya diolah menjadi manisan dan sirup, fuli atau selaput merahnya dijadikan bumbu dan obat, sementara bijinya dikeringkan menjadi rempah unggulan. Bahkan minyak atsiri pala digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan obat tradisional bernilai tinggi.
Dari kebun ke dapur, dari ladang ke laboratorium, pala menghadirkan rantai nilai ekonomi yang panjang dan inklusif. Di pasar global, nama pala Indonesia harum semerbak. Dunia mengenal kita sebagai produsen pala terbesar. Sekitar sepertiga suplai pala dunia berasal dari tanah air.
Pada 2021, ekspor pala Indonesia menembus 26 ribu ton dengan nilai hampir 200 juta dolar AS (sekitar Rp 3,1 triliun). Angka itu menjadi bukti bahwa rempah leluhur ini masih mampu bersaing di tengah derasnya arus perdagangan modern.
Salah satu rahasia di balik daya saing pala Indonesia terletak pada kualitasnya. Pala Siau memiliki kadar minyak atsiri mencapai 100 persen, jauh di atas rata-rata daerah lain. Aroma tajam dan kandungan myristicin-nya yang tinggi membuatnya menjadi incaran industri kuliner dan kosmetik dunia. Tak heran jika pala dari pulau kecil di bawah bayang-bayang Gunung Karangetang ini mendapat sertifikat Indikasi Geografis (IG). Begitu pula pala Banda, yang sejak masa VOC sudah dikenal sebagai rempah terbaik dunia.
Menariknya, sebagian besar ekspor pala Indonesia mengalir ke Jepang. Negeri Sakura menjadi pasar setia bagi rempah kita. Jepang dikenal dengan standar keamanan pangan yang sangat ketat, dan pala Indonesia, terutama dari Siau, berhasil memenuhinya. Dengan aroma kuat, ukuran biji seragam, serta kadar racun jamur (aflatoksin) rendah, pala kita menjadi primadona industri makanan dan farmasi Jepang.
Hubungan dagang kedua negara diperkuat oleh Indonesia–Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang memberi tarif bea masuk nol persen untuk produk tertentu, termasuk rempah. Keuntungan ini menjadikan pala Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara lain.
Selain itu, Jepang mengandalkan pala untuk industri kuliner dan kosmetik herbal. Tak heran jika lebih dari 90 persen impor pala Jepang berasal dari Indonesia. Importir Jepang bahkan datang langsung ke Siau untuk memastikan mutu dan kontinuitas pasokan.
Baca juga: Tak Sekadar Bumbu Masak, Biji Pala Punya Sejumlah Manfaat Kesehatan
Kendati prospek pala cerah, jalan menuju kejayaan penuh belumlah mulus. Tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri. Sebagian besar kebun pala berada di wilayah kepulauan terpencil, dengan infrastruktur terbatas dan biaya logistik tinggi. Dari kebun di pulau-pulau kecil hingga pelabuhan ekspor, rantai distribusi panjang sering menurunkan mutu biji. Dalam perjalanan yang lembap, biji pala mudah berjamur.
Praktik penjemuran tradisional di atas tanah juga masih banyak dilakukan, memicu kontaminasi dan penurunan kualitas. Produktivitas pun masih rendah. Banyak pohon pala sudah tua, bibit unggul belum tersebar luas, dan teknik budidaya belum modern. Rata-rata produksi Indonesia hanya 1,7 ton per hektar, setengah dari India yang bisa mencapai empat ton.
Petani sering bergantung pada tengkulak karena akses langsung ke eksportir belum tersedia. Akibatnya, keuntungan besar justru dinikmati perantara. Dunia menghargai pala kita dengan harga tinggi, tapi petani di Banda atau Siau masih hidup sederhana.
Namun di balik tantangan itu tersimpan peluang besar. Indonesia bisa menempuh tiga jalan utama, yaitu diversifikasi produk, perluasan pasar, dan penguatan rantai pasok. Pertama, keluar dari jebakan komoditas mentah. Pala tak seharusnya hanya diekspor dalam bentuk biji kering. Sudah saatnya Indonesia naik kelas sebagai eksportir produk olahan seperti minyak atsiri, mentega pala, oleoresin, hingga bubuk pala siap pakai. Produk-produk ini dihargai jauh lebih tinggi di pasar dunia.