Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Menguatkan Harum Cengkeh dan Ekonomi Daerah

Kompas.com - 22 Oktober 2025, 12:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

INDONESIA telah dikenal sejak berabad-abad silam sebagai tanah kelahiran cengkeh (Syzygium aromaticum), rempah unggul yang bukan hanya melezatkan masakan, tetapi juga mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.

Dari Maluku, aroma cengkeh pernah mengguncang sejarah: mendorong pelayaran lintas samudra, memicu perjumpaan peradaban, dan menjadi alasan utama bangsa-bangsa besar datang menjelajahi Nusantara. Cengkeh bukan sekadar komoditas dagang, namun juga saksi awal globalisasi Nusantara, penanda kejayaan rempah-rempah, dan hingga kini menjadi sandaran hidup bagi jutaan petani di berbagai pelosok negeri.

Namun sejarah yang gemilang itu tidak serta-merta menjamin masa depan yang cemerlang. Tanpa perencanaan yang matang dan langkah-langkah strategis yang berani, potensi cengkeh akan perlahan memudar, tertinggal di antara arus perubahan dan ketidakpastian pasar. Jika dibiarkan berjalan tanpa arah, cengkeh berisiko tinggal sebagai kenangan harum masa lalu, alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi masa depan.

Padahal, cengkeh menyimpan peluang besar untuk diolah menjadi produk bernilai tinggi, dari bahan utama industri rokok kretek yang menyumbang triliunan rupiah dalam bentuk cukai, hingga sumber minyak atsiri, farmasi, dan kosmetik yang sangat dicari di pasar global.

Agar potensi itu tumbuh, Indonesia perlu menata ulang industri cengkeh dengan visi jangka panjang, investasi pada riset dan teknologi, serta kemitraan yang kokoh antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani. Kita tak bisa hanya bergantung pada pasar untuk menentukan nasib komoditas strategis ini.

Baca juga: Pohon Cengkeh Banyak Mati Terserang Penyakit, Petani di Madiun Harapkan Bantuan Bibit

Potensi Besar, Kenyataan yang Masih Terbatas

Secara teori, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan cengkeh. Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) komoditas ini tercatat lebih dari satu, menandakan bahwa ekspor cengkeh Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional.

Dari sisi produksi, Indonesia masih menjadi produsen terbesar dunia, dengan estimasi produksi sekitar 140 ribu ton pada 2023, mewakili lebih dari 70 persen produksi global. Yang menarik, sekitar 99 persen lahan cengkeh dikelola oleh petani rakyat. Ini membuktikan bahwa komoditas ini sangat merakyat dan sangat penting bagi ekonomi daerah.

Namun, kenyataan tidak selalu sejalan dengan potensi. Lebih dari 90 persen produksi cengkeh Indonesia diserap oleh industri rokok kretek dalam negeri. Akibatnya, volume ekspor justru rendah. Bahkan pada periode Januari hingga Oktober 2022, Indonesia mengimpor cengkeh lebih banyak daripada mengekspor, demi memenuhi kebutuhan industri kretek.

Ketergantungan ini menciptakan struktur yang rapuh, ketika konsumsi domestik terganggu, dampaknya bisa langsung terasa hingga ke kebun petani. Lebih dari 1,5 juta petani menggantungkan hidup pada cengkeh. Sentra produksi seperti Maluku, Sulawesi, dan Jawa bagian timur sangat bergantung pada stabilitas harga dan permintaan cengkeh.

Selain menjadi bahan baku utama industri rokok kretek yang menyumbang lebih dari Rp100 triliun dalam bentuk cukai setiap tahunnya, cengkeh juga digunakan dalam industri minyak atsiri, farmasi, kosmetik, dan makanan-minuman.

Namun ada bahaya besar ketika satu komoditas terlalu bergantung pada satu industri. Sekitar 95 hingga 97 persen cengkeh Indonesia diserap oleh sektor rokok. Ketika industri ini terguncang, kenaikan cukai, atau pergeseran selera pasar, dampaknya segera terasa di lapangan. Petani cengkeh menjadi korban pertama dari ketidakpastian pasar yang mereka sendiri tidak bisa kendalikan.

Ditambah lagi, banyak tanaman cengkeh sudah tua. Produktivitasnya menurun dari 441 kilogram per hektare pada 2015 menjadi hanya 416 kilogram pada 2020. Di saat kebutuhan meningkat, kemampuan produksi justru menurun.

Baca juga: Salah Satu Rempah Indonesia, Apakah Cengkeh Bisa Dimakan?

Dari Bahan Mentah ke Produk Bernilai Tinggi

Di sisi lain, peluang untuk meningkatkan nilai tambah sebenarnya terbuka sangat lebar. Selama ini, sebagian besar cengkeh dijual dalam bentuk bunga kering, padahal daun dan batangnya pun menyimpan potensi besar sebagai bahan dasar minyak atsiri, ekstrak, dan berbagai produk turunan.

Dunia kini mulai kembali ke bahan alami. Produk herbal, kosmetik organik, dan aromaterapi menjadi tren pasar global. Sayangnya, kita belum cukup memanfaatkan momentum ini. Alih-alih mengekspor produk jadi bernilai tinggi, Indonesia masih terjebak dalam ekspor bahan mentah. Produksi yang stagnan, harga yang fluktuatif, kualitas yang tidak merata, dan minimnya diversifikasi produk menjadi tantangan nyata.

Musim kemarau panjang, curah hujan ekstrem, dan serangan organisme pengganggu tumbuhan bisa membuat panen gagal atau tidak optimal. Mutu cengkeh pun masih sering bervariasi karena praktik pascapanen yang belum seragam. Di tengah semua itu, negara lain seperti Madagaskar dan Tanzania terus meningkatkan ekspor mereka dengan mutu yang semakin baik.

Tantangan lainnya datang dari regulasi. Rencana pemerintah menerapkan kemasan polos untuk rokok, misalnya, bisa menghapus identitas visual produk kretek. Bagi industri, ini ancaman, bagi petani cengkeh, ini bisa menjadi bencana. Jika penjualan rokok kretek turun drastis, serapan cengkeh ikut melemah.

Baca juga: Cara Mengonsumsi Cengkeh, Rempah yang Kaya Manfaat

Menopang Masa Depan Daerah

Menghadapi kompleksitas ini, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan baru yang lebih menyeluruh dan berorientasi jangka panjang. Langkah pertama adalah mempercepat program peremajaan tanaman cengkeh. Bibit unggul harus didistribusikan ke daerah sentra produksi, disertai pelatihan teknis tentang pemangkasan, pemupukan, hingga pengendalian hama.

Insentif bagi petani yang melakukan peremajaan secara mandiri bisa diberikan, baik dalam bentuk subsidi, kredit lunak, maupun bantuan teknis.

Di sisi lain, hilirisasi menjadi langkah strategis yang tak kalah penting. Kita tidak bisa terus-menerus menjual bahan mentah dan berharap ekonomi daerah meningkat. Pabrik penyulingan minyak cengkeh, industri ekstrak eugenol, hingga produk berbasis aromaterapi harus mulai tumbuh di sentra produksi.

Langkah berikutnya adalah memperluas pasar ekspor. Selama ini India dan Timur Tengah menjadi pasar utama, namun peluang di Eropa dan Asia Timur tidak kalah besar. Produk cengkeh dengan label organik, fair trade, dan standar kualitas tinggi dapat bersaing di pasar tersebut, asalkan didukung dengan standarisasi mutu dan sertifikasi yang memadai.

Kampanye "Cengkeh Indonesia" sebagai rempah premium dunia perlu digencarkan melalui pameran dagang internasional, kerja sama dagang bilateral, dan diplomasi rempah. Peran diaspora juga bisa dioptimalkan sebagai jembatan promosi dan distribusi.

Pada saat yang sama, pemerintah harus menjaga ekosistem petani dan industri dalam negeri. Koperasi dan asosiasi petani perlu diperkuat agar mereka bisa menjadi aktor aktif dalam rantai pasok, bukan sekadar penjual bahan mentah. Skema penyangga harga dan perlindungan asuransi pertanian akan memberikan rasa aman di tengah fluktuasi pasar.

Pemerintah juga perlu menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada keberlanjutan industri cengkeh. Jika regulasi seperti plain packaging berisiko menekan permintaan, maka harus ada kebijakan kompensasi berupa diversifikasi pemanfaatan cengkeh ke sektor lain.

Dukungan terhadap riset dan inovasi sangat penting, termasuk pengembangan varietas tahan penyakit, teknologi budidaya modern, dan pengolahan pascapanen. Semua kebijakan ini harus dijalankan secara terpadu, lintas kementerian, lintas sektor, dan lintas daerah. Di sisi lain, branding dan diferensiasi produk juga perlu diperkuat.

Baca juga: 7 Khasiat Air Rebusan Cengkeh, Apa Saja?

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau