SEJAK akhir 2024, terjadi kenaikan harga kelapa bulat di mana lonjakan harga terjadi di tingkat petani dan pasar. Harga meroket tajam seiring meningkatnya permintaan ekspor, terutama dari China.
Di sentra produksi Riau, harga naik dari Rp 3.250/kg menjadi Rp 8.000/kg, sementara di Sulawesi Utara stabil di atas Rp 4.000/kg awal 2025.
Dampaknya terasa di tingkat konsumen, dengan harga kelapa parut di Jakarta mencapai Rp 21.000/kg dan harga per buah kelapa di Bekasi hingga Rp 25.000.
Harga produk impor kelapa di China juga naik 12 persen menjadi 596 dollar AS per ton, membuat pasar ekspor lebih menarik bagi petani dan pedagang, mendorong aliran produk ke luar negeri.
Ironisnya, kelangkaan kelapa yang terjadi di pasar lokal terjadi di saat produksi nasional cukup tinggi, yakni 2,84 juta ton atau 14,18 miliar butir pada 2023.
Dengan konsumsi domestik sekitar 10 miliar butir, Indonesia sebenarnya surplus. Namun, distribusi yang tidak efisien dan rantai pasok yang panjang, seperti minimnya pasokan ke Kepulauan Riau, menyebabkan harga lokal melambung, bahkan santan mencapai Rp 30.000/kg.
Akibatnya, meski petani memperoleh keuntungan lebih besar, konsumen dan industri pengolahan dalam negeri justru menghadapi tekanan akibat mahalnya bahan baku.
Volume ekspor kelapa Indonesia memang meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor kelapa bulat pada Januari–Maret 2025 mencapai 46 juta dollar AS (Sekitar Rp 740 miliar), melonjak 146 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca juga: Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
Sekitar 95 persen ekspor tersebut ditujukan ke China, dengan sebagian kecil ke Vietnam dan Thailand.
Dari sisi volume, ekspor kelapa bulat sepanjang 2024 mencapai 432.000 ton, naik dari 381.000 ton pada 2023, dan hanya dalam dua bulan pertama 2025 telah menembus 71.000 ton.
Produk turunan kelapa juga menunjukkan kinerja ekspor yang relatif positif, meski belum optimal. Kopra menyumbang ekspor senilai 6 juta dollar AS (sekitar 97 miliar) hingga Maret 2025.
Namun, ekspor Virgin Coconut Oil (VCO) masih tertinggal, hanya sekitar 4 juta dollar AS pada 2023, jauh di bawah India.
Padahal, permintaan dunia terhadap VCO terus naik karena tren makanan sehat dan kosmetik organik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih terlalu bergantung pada ekspor komoditas primer, sementara potensi hilirisasi belum dimaksimalkan.
Tren harga global turut memperkuat posisi ekspor Indonesia. Permintaan minyak kelapa mentah tetap tinggi di pasar internasional, khususnya untuk pangan dan oleokimia.
Indeks harga kelapa parut juga meningkat di pasar utama seperti China dan Eropa. Negara lain seperti Vietnam dan Korea Selatan mulai memperluas pembelian kelapa dari Indonesia.