Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Pelajaran Swasembada Gula Nasional

Kompas.com - 3 Desember 2025, 06:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

INDONESIA pernah menjadi salah satu produsen gula terbesar di dunia pada awal abad ke-20. Pada era 1930-an, terdapat 179 pabrik gula di Hindia Belanda dengan produksi hampir 3 juta ton per tahun, menjadikan wilayah ini produsen gula terbesar kedua setelah Kuba. Sebagian besar (sekitar 2,2 juta ton) bahkan diekspor ke Eropa dan berbagai negara.

Kejayaan ini ditopang oleh kebijakan yang mendorong pasokan tebu melimpah, serta investasi besar dalam riset dan teknologi. Varietas unggul tebu seri POJ yang dikembangkan di Pasuruan mampu menghasilkan hingga 18 ton gula per hektare, jauh melampaui produktivitas tebu Indonesia saat ini.

Namun kejayaan itu tak bertahan lama. Depresi Ekonomi 1930-an dan anjloknya harga gula dunia menghantam industri gula kolonial, menurunkan jumlah pabrik dari 179 menjadi hanya 35 unit menjelang akhir dekade. Perang Dunia II dan pendudukan Jepang memperburuk kondisi. Banyak pabrik rusak atau berhenti beroperasi, sehingga produksi nasional anjlok menjadi kurang dari 300 ribu ton pada akhir 1940-an.

Meski Indonesia mewarisi lahan tebu dan infrastruktur perkebunan dari kolonial, industri gula ternyata sangat rentan terhadap gejolak politik dan ekonomi global. Modal awal itu tetap menjadi aset berharga, tetapi memerlukan visi dan tata kelola baru agar dapat bangkit kembali.

Perjalanan industri gula Indonesia pascakemerdekaan bergerak seperti roller-coaster. Setelah masa kejayaan, Indonesia justru berbalik menjadi negara pengimpor gula dalam jumlah besar. Tantangan modernisasi industri, rendahnya produktivitas kebun, dan ketergantungan pada impor membuat swasembada gula sulit dicapai.

Namun peluang untuk bangkit tetap terbuka. Dengan komitmen politik yang kuat, investasi pada varietas unggul dan teknologi pengolahan, serta orientasi baru untuk memanfaatkan tebu sebagai sumber bioetanol, Indonesia dapat membangun kembali kemandirian gula. Swasembada tidak hanya penting bagi ketahanan pangan, tetapi juga bagi kedaulatan energi, sekaligus memastikan kesejahteraan petani tebu tetap terjaga.

Baca juga: Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian

Dinamika Kebijakan Gula

Setelah kemerdekaan, Indonesia mewarisi industri gula yang rusak berat akibat perang. Nasionalisasi pabrik gula pada 1957 menjadi langkah awal untuk mengambil alih aset kolonial, namun tidak langsung menghidupkan kembali industri yang terpuruk. Sebagian besar pabrik tidak beroperasi karena kerusakan fasilitas, minimnya tenaga ahli setelah insinyur Belanda kembali ke negaranya, serta kapasitas manajemen dalam negeri yang belum siap.

Akibatnya, jumlah pabrik aktif merosot menjadi sekitar 30 unit, jauh dari 179 pabrik pada masa kejayaan. Meski demikian, periode 1950-an sempat memberikan harapan ketika beberapa pabrik dipulihkan dan Indonesia kembali menjadi pengekspor gula untuk beberapa waktu. Namun peningkatan penduduk dan keterbatasan kapasitas produksi membuat sejak 1967 Indonesia berubah menjadi pengimpor gula.

Pemerintah Orde Baru kemudian meluncurkan berbagai program intensifikasi seperti TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) pada 1975, menyediakan bibit unggul, pupuk, kredit, serta membangun pabrik baru di luar Jawa. Hasilnya cukup signifikan, dimana luas tebu meningkat pesat dan produktivitas sempat mendekati capaian era kolonial. Pada 1970–awal 1980-an, Indonesia bahkan nyaris kembali swasembada gula.

Namun kebangkitan ini tidak bertahan lama. Pertumbuhan konsumsi dalam negeri pada 1980–1990-an tidak dapat diimbangi produksi nasional. Walaupun produksi 1994 mencapai 2,5 juta ton, angka itu tetap kalah dari kebutuhan yang terus naik.

Era pasca reformasi 1998 semakin memperlebar jurang dengan masuknya gula impor berharga murah yang memukul industri lokal. Banyak pabrik tua tidak direvitalisasi, efisiensi turun, dan rendemen merosot dari sekitar 10% menjadi hanya 7% pada akhir 1990-an. Memasuki abad ke-21, industri gula nasional pun kembali stagnan dan menghadapi tantangan besar untuk pulih.

Baca juga: Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula

Tantangan Industri Gula Nasional

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kebutuhan gulanya jauh melampaui kemampuan produksi dalam negeri. Pada 2023, konsumsi gula nasional mencapai sekitar 7,3 juta ton per tahun, sementara produksi domestik hanya sekitar 2,3 juta ton. Defisit lebih dari 5 juta ton ini harus ditutup dengan impor, menjadikan Indonesia salah satu importir gula terbesar di dunia.

Ketergantungan besar pada impor memang menyelesaikan kebutuhan jangka pendek, tetapi sangat berisiko bagi ketahanan pangan karena membuat negara rentan terhadap fluktuasi harga global dan melemahkan daya saing industri gula nasional.

Upaya mencapai kembali swasembada gula menghadapi sejumlah hambatan struktural. Rendemen gula Indonesia masih rendah (hanya 5–6%), jauh di bawah Thailand atau India (yang mencapai 8–10%), karena banyak pabrik menggunakan peralatan tua dan teknologi lama. Produktivitas tebu per hektare juga tertinggal, rata-rata 71 ton/ha, kalah dari China, Australia, maupun India.

Selain itu, lebih dari separuh lahan tebu dikelola petani kecil dengan akses terbatas pada teknologi, modal, dan mekanisasi sehingga hasilnya tidak optimal. Penambahan luas lahan pun belum efektif, terbukti dari tren produksi gula yang menurun meski areal tebu meningkat, menunjukkan masalah dalam manajemen lahan baru dan kualitas budidaya.

Baca juga: Kemenperin: RI Butuh 700.000 Hektare Lahan untuk Bisa Swasembada Gula

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Varietas Tanaman
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau