
INDUSTRI gula Indonesia pernah mencapai masa kejayaan pada era 1930-an, ketika menjadi salah satu pengekspor terbesar dunia. Setelah kemerdekaan, pabrik-pabrik gula di Jawa bergantung pada tebu rakyat yang ditanam oleh petani kecil.
Upaya memperkuat hubungan antara petani dan pabrik pernah dilakukan melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sejak tahun 1975 dengan tujuan mulia, yaitu meningkatkan pendapatan petani dan memenuhi kebutuhan gula nasional.
Namun, siklus panen yang panjang, keterlambatan kredit, serta masalah operasional pabrik membuat petani rugi dan enggan menanam tebu. Rendemen menurun, harga gula tidak sebanding dengan biaya produksi, dan praktik ketidakadilan dalam antrian maupun penimbangan memperparah ketidakpercayaan petani terhadap pabrik.
Kegagalan program kemitraan di masa lalu memberi pelajaran penting, bahwa tanpa hubungan yang saling menguntungkan, kemandirian gula sulit tercapai. Insentif ekonomi menjadi kunci utama agar petani tetap menanam tebu.
Pemerintah pernah memperbaiki sistem bagi hasil dari 66:34 menjadi 70:30 untuk mendorong semangat petani, namun transparansi dan keadilan tetap menjadi tantangan. Ketidakjelasan dalam pengukuran rendemen dan harga menimbulkan konflik, sementara pola jual putus tidak memberi jaminan keuntungan jangka panjang. Keberhasilan kemitraan juga sangat bergantung pada kehadiran pendampingan teknis yang konsisten dari pabrik dan dukungan kebijakan yang berpihak kepada petani.
Selain insentif, kelembagaan petani yang kuat menjadi fondasi utama kemitraan. Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pada beberapa kasus terbukti efektif memperjuangkan akses pupuk, kredit, dan kebijakan harga yang lebih adil. Koperasi berperan menjembatani kebutuhan petani dengan pabrik, sementara APTRI mengawal kebijakan nasional.
Ketika pendampingan dan kelembagaan berjalan baik, produktivitas tebu meningkat dan hubungan petani–pabrik menjadi lebih seimbang.
Pelajaran dari masa lalu jelas, bahwa keberhasilan industri gula Indonesia ke depan bergantung pada kemitraan yang transparan, adil, dan berkelanjutan antara petani dan pabrik sebagai dua pilar utama rantai produksi gula nasional.
Baca juga: Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Kemitraan yang sehat antara pabrik gula (PG) dan petani tebu merupakan syarat mutlak bagi keberlanjutan pasokan bahan baku industri gula nasional. Contoh paling nyata terlihat di Jawa Timur, provinsi yang menjadi lumbung gula Indonesia. Provinsi ini menyumbang lebih dari 50 persen produksi gula nasional, dengan total produksi mencapai sekitar 1,28 juta ton pada 2024 dan areal tebu rakyat seluas 238 ribu hektare.
Kontribusi besar tersebut mustahil tercapai tanpa koordinasi erat antara belasan PG dan puluhan ribu petani plasma di sekitarnya. Kemitraan menyediakan jaminan pasar bagi petani, dan di sisi lain memastikan pabrik memperoleh pasokan bahan baku cukup untuk menggiling secara optimal setiap musimnya.
Lebih jauh, kemitraan yang kuat memberi kepastian harga dan rasa keadilan bagi petani. Pola kemitraan berbasis kontrak atau bagi hasil terbukti lebih stabil dibandingkan sistem jual putus, karena mampu meredam gejolak harga pasar.
Dalam skema Sistem Bagi Hasil (SBH), pabrik dan petani berbagi risiko, saat harga gula naik, petani menikmati hasil lebih besar, saat harga turun, pabrik menanggung sebagian beban. Pola ini menciptakan keseimbangan dan memperkuat motivasi petani untuk terus menanam tebu, sebab ada jaminan pasar dan proteksi harga yang relatif stabil.
Pemerintah pun menyadari pentingnya jaminan harga untuk menjaga semangat petani. Melalui penetapan Harga Patokan Petani (HPP) setiap tahun, Kementerian Pertanian memastikan petani memperoleh keuntungan yang layak. Karena itu, dukungan kebijakan harga, transparansi lelang, dan kemudahan akses permodalan menjadi bagian penting dari upaya menjaga hubungan harmonis antara PG dan petani.
Kemitraan sejatinya bukan sekadar hubungan bisnis, melainkan strategi pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Bagi petani, kemitraan yang tertata baik membuka peluang peningkatan pendapatan, akses modal, dan produktivitas. Di sisi lain, pabrik diuntungkan karena kapasitas giling dapat terjaga dan efisiensi produksi meningkat. Hasilnya bukan hanya peningkatan produksi, tetapi juga kesejahteraan yang menetes hingga ke desa-desa.
Uang hasil tebu berputar di ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat. Dengan demikian, kemitraan PG–petani bukan hanya instrumen bisnis, tetapi investasi sosial ekonomi menuju kemandirian gula Indonesia.
Baca juga: Kawasan Tebu Nasional dalam Kekosongan Implementasi