Industri hilir kelapa di Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Dari sekitar 1.200 industri pengolahan kelapa, hanya sekitar 40 persen yang beroperasi secara optimal.
Sebagian besar industri tersebut masih terbatas pada produk kopra dan minyak kelapa kasar (Crude Coconut Oil/CNO), sementara produk dengan nilai tambah tinggi seperti nanofiber dari sabut kelapa, bioarang dari tempurung, dan VCO (Virgin Coconut Oil) belum dikembangkan secara maksimal.
Ambisi pemerintah melalui program hilirisasi 2025-2045 telah menyadari berbagai harapan tersebut. Bappenas bersama Kementerian terkait telah menyusun Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 dengan target tinggi.
Dalam peta jalan ini, produksi kelapa ditargetkan meningkat hingga 6 juta ton setara kopra, dengan produktivitas mencapai 1,78 ton per hektare, dan minimal 95 persen produksi kelapa diproses secara domestik.
Sasaran lainnya adalah meningkatkan kontribusi ekspor produk turunan kelapa Indonesia agar masuk dalam 10 besar dunia, serta meningkatkan nilai ekspor hingga 10 kali lipat dalam 20 tahun mendatang.
Langkah strategis menuju hilirisasi untuk merealisasikan target besar ini, pemerintah harus fokus pada tiga aspek utama.
Pertama, revitalisasi perkebunan melalui program peremajaan tanaman tua secara masif, peningkatan ketersediaan benih unggul, dan optimalisasi penerapan GAP secara luas.
Baca juga: Dinamika Industri Kopi Indonesia
Upaya ini harus diikuti peningkatan kemampuan penyuluh pertanian serta kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, dan akademisi.
Selain itu, transformasi industri hilir dengan mendorong investasi dalam teknologi pengolahan dan pengembangan produk bernilai tambah tinggi seperti VCO, nanofiber, arang aktif, dan cocopeat.
Pengembangan klaster industri berbasis kelapa di daerah-daerah sentra produksi seperti Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat harus didukung oleh pemerintah melalui insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan infrastruktur yang memadai.
Kemudian hal penting lainnya adalah pembenahan rantai pasok melalui pemberdayaan koperasi petani dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai agregator yang menjamin harga kelapa yang layak di tingkat petani.
Digitalisasi rantai pasok seperti e-Coconut juga dapat diterapkan untuk mengurangi peran tengkulak yang kerap merugikan petani.
Belajar dari kesuksesan negara lain
Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari negara-negara produsen kelapa seperti Filipina dan Thailand yang telah berhasil mengembangkan industri hilir kelapa mereka.
Filipina, misalnya, melalui peran aktif Philippine Coconut Authority (PCA), telah berhasil mengembangkan industri kosmetik dan farmasi berbasis kelapa.