Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Maman Silaban
Konsultan Individu

Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.

Hari Tani Nasional: Petani Masih Jadi Tamu di Tanahnya Sendiri

Kompas.com, 24 September 2025, 18:17 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

TANGGAL 24 September setiap tahun selalu hadir sebagai pengingat janji besar yang pernah ditulis negara: tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada hari itulah tahun 1960, Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960), sebuah tonggak yang diharapkan mampu mengakhiri ketimpangan warisan kolonial. Tiga tahun kemudian, lewat Keppres No. 169/1963, tanggal itu diabadikan sebagai Hari Tani Nasional.

UUPA lahir dari pengalaman panjang bangsa ini menghadapi ketidakadilan agraria sejak masa kolonial. Pada masa itu, tanah dikuasai perkebunan asing, sementara rakyat pribumi hanya menjadi buruh atau penggarap tanpa hak. Sistem hukum pun terbelah: ada hukum agraria barat untuk kepentingan modal asing dan hukum adat yang dipinggirkan.

Kehadiran UUPA dimaksudkan untuk menghapus dualisme itu, menyatukan hukum tanah nasional, dan meletakkan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.

Enam dekade berlalu, kita mesti bertanya jujur: apakah semangat itu masih hidup, atau hanya tinggal catatan di buku sejarah?

Baca juga: Hari Tani Nasional di Karanganyar, Petani dan Mahasiswa Sampaikan 7 Tuntutan ke Bupati

Dari Semangat ke Realita

Ir. Soekarno meniatkan UUPA sebagai revolusi sosial. Tanah tidak boleh jadi alat penindasan, melainkan sumber kehidupan petani, kaum miskin desa, dan masyarakat adat. Namun perjalanan panjang pemerintahan menunjukkan betapa janji itu sering tertunda.

Orde Baru memilih jalan Revolusi Hijau. Hasilnya, Indonesia sempat menorehkan swasembada beras pada 1984. Tetapi agenda redistribusi tanah terabaikan, sementara ketergantungan pada pupuk kimia dan benih impor meninggalkan masalah jangka panjang.

Era Reformasi membuka kembali ruang demokrasi dan meluncurkan program reforma agraria, namun implementasi sering tersendat oleh tumpang tindih aturan dan tarik-menarik kepentingan.

Hari ini, di bawah rezim baru, jargon kedaulatan pangan kembali diangkat. Tetapi fakta di lapangan tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Harga beras melonjak meski stok tersedia, alih fungsi lahan terus berlangsung, konflik agraria tak kunjung padam, dan regenerasi petani masih minim.

Ironisnya, petani yang menjadi tulang punggung penyedia pangan justru termasuk kelompok paling miskin di negeri ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,5 hektar, dan jutaan keluarga petani masuk kategori gurem.

Baca juga: Petani Curhat Tanah Dirampas, DPRD Jambi Akan Panggil Sejumlah Pengusaha

Ilustrasi petani tembakau. PEXELS/SETENGAH LIMA SORE Ilustrasi petani tembakau.

Potret Daerah: Dari Sumatera hingga Papua

Di Sumatera, problem agraria paling menonjol tampak pada kasus eks-HGU PTPN II di Langkat dan Deli Serdang. Ribuan hektar tanah yang seharusnya bisa didistribusikan kepada rakyat justru berlarut-larut menjadi konflik berkepanjangan.

Bahkan di Deli Serdang, sebagian lahan eks-HGU digunakan untuk pengembangan kawasan perumahan mewah oleh salah satu pengembang besar. Lahan yang semestinya dapat memberi akses tanah bagi petani kecil justru berubah fungsi menjadi komoditas properti bernilai tinggi.

Di Jawa, tanah semakin sempit. Petani Kendeng di Rembang berjuang mempertahankan sumber air dari ekspansi tambang semen. Mereka menolak ketika lahan pangan diubah menjadi kawasan industri, sebuah perlawanan yang mengingatkan kembali bahwa tanah bukan hanya komoditas, melainkan ruang hidup.

Di Kalimantan, hutan adat tergusur tambang batubara dan perkebunan. Kasus di Kutai Kartanegara memperlihatkan bagaimana masyarakat adat kehilangan ruang hidup demi konsesi yang luas. Prinsip UUPA tentang fungsi sosial tanah dan pengakuan hak ulayat diabaikan.

Di Sulawesi, booming nikel di Morowali dan Konawe membawa devisa, tetapi mengorbankan sawah, kebun, dan pesisir. Petani dan nelayan terdesak oleh proyek industri ekstraktif yang mengabaikan keberlanjutan pangan lokal.

Di Maluku, konflik tanah adat sering terkait dengan pembangunan infrastruktur dan perkebunan. Di Maluku Tengah dan Seram, masyarakat adat berhadapan dengan konsesi tebu dan pala yang menggerus lahan garapan tradisional. Sengketa tanah ini kerap berlarut karena lemahnya perlindungan hak ulayat meskipun secara hukum sudah diakui.

Di Bali dan Nusa Tenggara, persoalan agraria berkelindan dengan pariwisata dan alih fungsi lahan. Di Bali, sawah-sawah produktif di kawasan Denpasar, Gianyar, dan Badung terus beralih menjadi vila dan hotel.

Di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, proyek pariwisata skala besar dan ekspansi tambang mendorong konflik dengan masyarakat adat yang masih bergantung pada tanah ulayat untuk bertani dan menggembala ternak.  Alih fungsi lahan di daerah ini memperlihatkan bagaimana kepentingan ekonomi sering lebih dominan daripada ketahanan pangan lokal.

Di Papua, proyek food estate MIFEE di Merauke menelan tanah adat dalam skala jutaan hektar. Banyak komunitas adat kehilangan haknya tanpa kompensasi adil, padahal UUPA mengakui tanah ulayat sebagai bagian dari keadilan agraria.

Baru-baru ini, sengketa tanah adat juga mencuat di Kabupaten Sorong, ketika masyarakat adat Moi memperjuangkan hak atas tanah mereka yang tumpang tindih dengan konsesi perkebunan sawit. Kasus ini semakin menegaskan betapa tanah adat di Papua tetap rapuh, meskipun kerangka hukum sudah mengakui keberadaannya.

Dari Sumatera hingga Papua, masalahnya serupa. Tanah lebih sering berpihak pada modal besar ketimbang pada mereka yang menggarapnya dengan tangan sendiri.

Pertanyaan yang Menggugah Hari Tani Nasional seharusnya bukan sekadar perayaan seremoni, melainkan ruang untuk bertanya: sampai kapan petani menjadi tamu di tanahnya sendiri?

Apakah negara akan kembali ke semangat UUPA 1960, melaksanakan reforma agraria sejati, melindungi hak ulayat, dan membatasi monopoli tanah? Ataukah negara justru terus melanjutkan pola ekstraktif yang meninggalkan petani di pinggiran?

Baca juga: Hadapi Tuntutan Redistribusi Lahan dari Petani, Bupati Blitar: Jangan Sering Nagih, Mending Kerja Saja

Tawaran Jalan Keluar

Menjawab tantangan itu, ada tiga langkah mendesak yang bisa ditempuh pemerintah:

  1. Reforma agraria sejati, bukan sekadar sertifikasi. Redistribusi lahan terlantar atau habis HGU harus dipercepat untuk rakyat kecil.
  2. Perlindungan fungsi sosial tanah. Alih fungsi lahan pangan ke industri harus dikendalikan ketat. Tanah untuk pangan adalah prioritas.
  3. Regenerasi petani. Pemerintah harus menjadikan pertanian menarik bagi anak muda dengan akses modal, teknologi, dan pasar yang adil.

Langkah-langkah ini bukan hanya demi kepentingan petani, tetapi juga menyangkut masa depan bangsa. Tanpa petani yang sejahtera, ketahanan pangan nasional akan rapuh. Tanpa generasi muda yang mau bertani, negeri ini bisa kehilangan kemandirian pangan dan semakin tergantung pada impor.

Menulis ulang janji UUPA 1960 berarti mengembalikan makna Hari Tani Nasional sebagai momentum koreksi arah pembangunan. Semangat itu tidak boleh berhenti di tataran retorika.

Jika negara serius, maka tanah, air, dan sumber daya alam benar-benar harus kembali ke tangan rakyat, khususnya petani yang selama ini menjadi tulang punggung bangsa. Hari Tani Nasional adalah hari untuk menggugat, tetapi juga hari untuk menyemai harapan.

Baca juga: “Petani adalah Akar, Penguasa Perusaknya!”

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Asa Pohon Mete di Tanah Gersang
Asa Pohon Mete di Tanah Gersang
Varietas Tanaman
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Varietas Tanaman
Halusinasi Negara Agraris
Halusinasi Negara Agraris
Tips
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Tips
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Varietas Tanaman
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Varietas Tanaman
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Varietas Tanaman
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau