
SEBAGAI negeri tropis, Indonesia dikaruniai kekayaan alam luar biasa. Salah satunya adalah kelapa, tanaman serba guna yang tumbuh dari pesisir Sumatera hingga kepulauan Maluku.
Pohon kelapa disebut pohon kehidupan bukan tanpa alasan. Hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan, dari airnya menyegarkan, daging buahnya menjadi sumber minyak dan pangan, serabut dan tempurungnya menjadi bahan industri, bahkan daunnya pun masih berguna dalam tradisi dan kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir.
Lebih dari itu, kelapa menjadi tumpuan hidup bagi jutaan petani di Indonesia. Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, kelapa bukan sekadar komoditas, tetapi simbol kesinambungan antara alam, budaya, dan ekonomi rakyat.
Menurut Outlook Komoditas Kelapa 2025 yang diterbitkan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, produksi kelapa Indonesia pada tahun 2024 mencapai sekitar 2,82 juta ton setara kopra.
Angka ini diproyeksikan naik menjadi 2,86 juta ton pada tahun 2025, dengan pertumbuhan rata-rata 0,38 persen per tahun hingga 2028.
Meskipun pertumbuhannya tidak spektakuler, tren ini menunjukkan kestabilan dan daya tahan sektor kelapa di tengah gejolak global. Indonesia pun masih menjadi produsen kelapa terbesar di dunia, melampaui Filipina dan India.
Baca juga: Mendorong Nilai Tambah di Negeri Seribu Kelapa
Sentra kelapa nasional tersebar di Provinsi Riau, Sulawesi Utara, Maluku, dan Sulawesi Tengah. Riau bahkan menyumbang lebih dari 11 persen produksi kelapa dalam nasional dan 74 persen kelapa hibrida.
Artinya, kelapa tidak hanya menjadi bagian penting dari struktur pertanian nasional, tetapi juga penopang utama ekonomi daerah pesisir.
Di banyak wilayah, keberadaan kelapa berkelindan dengan budaya lokal, hadir dalam upacara adat, kuliner, hingga simbol kesejahteraan keluarga.
Namun, di balik gambaran optimistis itu, terdapat kenyataan bahwa 97 persen kebun kelapa Indonesia adalah perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional.
Dari total areal 3,31 juta hektare, sekitar 374.000 hektare atau 11,3 persen tergolong tanaman tua dan rusak.
Produktivitasnya pun rendah, rata-rata hanya sekitar 1,1 ton kopra per hektare per tahun, jauh di bawah potensi genetiknya yang bisa mencapai tiga ton. Kondisi ini menuntut upaya serius untuk melakukan peremajaan dan modernisasi budidaya.
Program revitalisasi perkebunan kelapa rakyat harus menjadi prioritas. Penggunaan varietas unggul seperti kelapa genjah entok, kelapa pandan wangi, atau kelapa hibrida dapat melipatgandakan hasil.
Integrasi dengan tanaman sela seperti kakao, jahe, dan vanili juga dapat meningkatkan pendapatan petani sekaligus menjaga kesuburan tanah.
Di tingkat kebijakan, dukungan pembiayaan, penyuluhan, serta mekanisasi panen perlu diperkuat agar petani tidak lagi terjebak dalam siklus produktivitas rendah.