
NAMA Barus barangkali tidak lagi akrab di telinga masyarakat Indonesia hari ini. Namun berabad-abad silam, pelabuhan kecil di pesisir barat yang saat ini masuk Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu adalah salah satu kota dan pusat perdagangan penting di Asia.
Dari hutan-hutan di sekitarnya, mengalir getah harum dari pohon Dryobalanops aromatica, yang kemudian dikenal sebagai kapur barus atau kamper, komoditas bernilai tinggi yang pernah menempatkan Nusantara di jantung perdagangan dunia.
Catatan geograf Yunani Ptolemaeus pada abad ke-2 Masehi menyebut nama “Barousai” sebagai pelabuhan penghasil minyak harum yang diperdagangkan ke India dan Arab.
Dalam sumber Arab abad ke-10, Barus disebut “Fansur”, pelabuhan penghasil kapur barus terbaik yang harganya lebih mahal daripada emas.
Bahkan Marco Polo dalam catatan perjalanannya pada tahun 1292, menulis bahwa kapur barus dari Sumatera adalah “yang paling murni dan mahal di dunia”.
Dari pelabuhan Barus inilah rempah harum itu berangkat menembus Jalur Sutra, ke Gujarat, Teluk Persia, Kairo, hingga Konstantinopel.
Kapur barus menjadi simbol keterhubungan Nusantara dengan dunia sejak awal milenium pertama, jauh sebelum dunia mengenal rempah pala, cengkih, atau lada dari Maluku.
Kapur barus sejatinya adalah hasil penyulingan getah dari pohon Barus (Laurel kamper) di hutan tropis Sumatera dan Kalimantan.
Prosesnya rumit dan penuh ketidakpastian, tidak semua pohon mengandung zat kamper, sehingga banyak pohon ditebang untuk mendapatkan hasil yang sedikit saja. Namun, hasilnya menakjubkan, yaitu kristal putih beraroma tajam, padat, dan tahan lama.
Kegunaannya melampaui batas geografis dan zaman. Dalam pengobatan modern, kapur barus dimanfaatkan karena sifat antiinflamasi, antiseptik, dan antijamurnya.
Ekstraknya menjadi bahan salep pereda nyeri otot, radang sendi, dan obat gosok pernapasan. Ia juga berfungsi sebagai pengharum alami dan pengusir serangga, di mana aromanya yang menyengat efektif mengusir ngengat dan nyamuk.
Baca juga: Dilema Industri Kakao Indonesia: Kualitas dan Importasi
Bahkan di beberapa daerah India dan di Sumatera masa lampau, kapur barus digunakan dalam dosis kecil sebagai bumbu masakan dan pelengkap aroma dalam upacara keagamaan.
Perdagangan kapur barus menjadikan Barus bukan sekadar pelabuhan, tetapi juga simpul peradaban.
Interaksi dagang dengan pedagang Arab dan Persia membawa arus budaya baru ke Nusantara. Melalui pelabuhan Barus, ajaran Islam mulai dikenal di pantai barat Sumatera.
Makam Mahligai dan Syekh Papan di Barus menjadi bukti arkeologis penyebaran Islam awal abad ke-7 hingga ke-9. Dari sinilah, Nusantara memulai tradisi kosmopolitan yang terbuka terhadap dunia luar.
Kejayaan Barus mulai meredup pada abad ke-17, ketika jalur perdagangan dunia beralih ke pelabuhan besar yang dikuasai bangsa Eropa. Aceh, Malaka, dan Batavia menjadi pusat baru, sementara Barus perlahan tenggelam dalam ingatan sejarah.
Eksploitasi berlebihan terhadap pohon kamper juga meninggalkan luka ekologis. Data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2023) mencatat bahwa Dryobalanops aromatica kini masuk kategori critically endangered (sangat terancam punah) akibat deforestasi dan penebangan tanpa kontrol.
Kajian lapangan oleh Balai Penelitian Hutan Medan (2019) menemukan hanya puluhan pohon tua yang tersisa di hutan Barus dan sekitarnya, serta sangat sedikit regenerasi alami.
Di sisi lain, kemajuan industri kimia modern menggantikan hampir seluruh kebutuhan kapur barus alami.
Produk sintetis yang dibuat dari turunan minyak bumi seperti terpen dan naftalena kini menjadi bentuk kapur barus yang umum di pasaran, bola putih kecil yang kita kenal sebagai pengharum lemari.
Murah dan mudah diproduksi, tetapi kehilangan nilai ekologis dan sejarah yang pernah harum.
Walau terpinggirkan, kapur barus tetap menyimpan nilai kegunaan yang tak ternilai. Dalam dunia medis, ia masih menjadi bahan dasar farmasi dan pengobatan tradisional.
Dalam rumah tangga, aromanya menjaga kesegaran pakaian dan mengusir serangga. Kegunaan yang luas itu menunjukkan bahwa kapur barus adalah warisan ekologis dan intelektual yang luar biasa.
Ia bukan sekadar produk alam, tetapi juga cermin pengetahuan manusia dalam membaca manfaat hutan tropis.
Baca juga: Saatnya Perkebunan Naik Kelas: Ekspor Olahan, Bukan Sekadar Mentah
Ketika dunia kini mencari bahan alami dan ramah lingkungan, kapur barus sesungguhnya memiliki peluang besar untuk kembali diperhitungkan.
Saat ini, produksi kapur barus alami dari pohon Dryobalanops aromatica di Sumatera Utara praktis tidak lagi tercatat secara resmi.
Populasinya di alam sudah sangat menipis hingga nyaris punah, sehingga volume produksi pun sangat kecil.
Beberapa hutan kapur tua masih ditemukan di wilayah Barus dan Pakpak Bharat, namun kawasan ini lebih diarahkan untuk kepentingan konservasi ketimbang eksploitasi ekonomi.
Akibatnya, nilai ekonomi kapur barus tidak tercatat dalam statistik resmi BPS karena tidak ada aktivitas produksi komersial ataupun ekspor yang berlangsung.
Meskipun demikian, sebagian kecil masyarakat masih memanfaatkan kristal kapur barus untuk keperluan tradisional, pengobatan, atau pengharum alami. Namun, skala pemanfaatannya sangat terbatas dan tidak memiliki signifikansi ekonomi.
Pemerintah daerah bersama beberapa lembaga penelitian telah memulai upaya penanaman kembali dan pelestarian pohon kapur barus.
Program ini tidak dimaksudkan sebagai kegiatan industri, melainkan bagian dari agenda nasional pelestarian keanekaragaman hayati dan penguatan Jalur Rempah yang menegaskan nilai historis dan ekologis kapur barus.
Harapan baru muncul melalui berbagai inisiatif lokal di Barus dan sekitarnya. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat berupaya menghidupkan kembali citra Barus sebagai “Kota Tua Kapur Barus”.
Penanaman bibit kamper mulai dilakukan di hutan rakyat dan kawasan wisata religi, sebagai simbol kebangkitan identitas daerah.
Dukungan juga datang dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menetapkan Barus sebagai salah satu titik penting dalam jaringan Jalur Rempah Nasional, mengingat perannya dalam sejarah perdagangan dunia.
Baca juga: Bisnis Domestik dan Ekspor Kacang Mete
Kebangkitan kapur barus tidak semata-mata bernilai historis, tetapi juga membuka peluang ekonomi hijau di masa depan.
Potensi produk turunan seperti minyak atsiri daun kamper, sabun alami, aromaterapi, hingga parfum herbal dapat dikembangkan tanpa perlu menebang pohon tua.
Melalui riset genetika untuk pengembangan varietas unggul serta kebijakan perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat lokal, kapur barus dapat menjadi contoh sinergi antara pelestarian alam dan inovasi industri berbasis budaya.
Lebih jauh lagi, Barus memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah dan spiritual. Jejak makam kuno, situs perdagangan purba, dan legenda jalur sutra rempah dapat diangkat dalam narasi edukatif yang menarik bagi wisatawan.
Menghidupkan kembali kapur barus berarti menghidupkan kembali ingatan kolektif bangsa terhadap akar peradaban maritim Nusantara, warisan ekologis dan simbol keterhubungan dunia yang pernah dibangun dari bumi Sumatera.
Jika keseimbangan antara pelestarian alam dan inovasi industri mampu dijaga, aroma harum kapur barus bukan hanya akan kembali di udara Barus, tetapi juga di panggung sejarah dunia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang