PADA Desember 2023, jamu dinobatkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda milik Indonesia.
Sebagai warisan nenek moyang, jamu atau ramuan tradisional khas Indonesia ini dibuat dari berbagai tanaman obat dan rempah-rempah.
Jamu biasanya diracik berdasarkan resep yang diwariskan secara turun-temurun. Jamu dapat dianggap sebagai produk herbal karena bahan-bahannya berasal dari tanaman lokal dan komoditas tradisional lain.
Selanjutnya, jamu yang telah melewati pengujian keamanan dari BPOM dan memiliki bukti ilmiah awal mengenai efektivitasnya dapat masuk ke kategori produk herbal terstandardisasi.
Perbedaan utama antara jamu, obat herbal, dan biofarmaka terletak pada proses pengolahan, standar keamanan, dan tingkat bukti ilmiah yang mendukung manfaat kesehatannya.
Baca juga: Bahan Bakar Nabati Alternatif Selain Sawit
Tanaman biofarmaka merujuk pada tanaman obat yang telah melalui uji klinis serta terbukti efektif dan aman, sehingga dapat digunakan dalam pengobatan formal.
Keberadaan tanaman-tanaman biofarmaka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi besar di pasar obat alami dunia, terutama di tengah tren global yang beralih ke produk berbasis herbal dan alami.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, produksi nasional tanaman biofarmaka di Indonesia mencapai 861.000 ton.
Beberapa jenis tanaman biofarmaka yang umum dibudidayakan di Indonesia meliputi jahe, kunyit, kapulaga, lengkuas, serai, jeruk nipis, kencur, dan temulawak.
Produksi per tahun jahe mencapai 247.000 ton, kunyit 196.500 ton, dan kapulaga 129.300 ton.
Produksi tanaman biofarmaka tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Provinsi Jawa Barat, misalnya, dikenal sebagai salah satu sentra produksi jahe, lengkuas, dan kencur.
Komoditas tersebut memiliki keunggulan kompetitif di masa lalu dan masa yang akan datang, dengan nilai Differential Shift (keunggulan relatif, daya saing dan peluang pengembangan) yang positif.
Nilai ekonomi tanaman biofarmaka juga terus naik signifikan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2021, total nilai ekspor jamu Indonesia mencapai 41,5 juta dollar AS, atau sekitar Rp 560 miliar.
Tanaman biofarmaka memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai komoditas konsumsi domestik maupun ekspor.
Jahe dan kunyit, dua komoditas unggulan biofarmaka, memiliki permintaan tinggi di pasar lokal dan internasional.
Dengan semakin tingginya kesadaran global terhadap manfaat kesehatan dari produk herbal dan alami, biofarmaka menjadi sektor strategis yang perlu dikembangkan secara optimal.
Sebagai negara dengan biodiversitas tinggi, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghasilkan produk-produk biofarmaka yang unik dan berdaya saing, menjadikannya salah satu pemain utama di industri obat alami dunia.
Pengembangan sektor biofarmaka juga membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor dalam industri farmasi.
Baca juga: Menggali Peluang Ekonomi dan Manfaat Kayu Manis
Dengan memanfaatkan tanaman biofarmaka lokal, Indonesia dapat meningkatkan kemandirian dalam penyediaan bahan baku farmasi, khususnya untuk produk herbal dan suplemen.
Selain itu, optimalisasi kekayaan hayati Indonesia dapat memperkuat daya saing produk kesehatan dalam negeri, mendukung inovasi produk berbasis tanaman lokal, dan menegaskan peran Indonesia di pasar global.
Untuk mencapai ini, dukungan dari pemerintah, sektor swasta, dan institusi riset sangat diperlukan.
Hilirisasi biofarmaka merupakan langkah penting untuk mendorong industri jamu dan produk herbal Indonesia bersaing di pasar global.
Kementerian Perindustrian memperkirakan nilai pasar produk turunan biofarmaka global mencapai 200,95 miliar dollar AS (Rp 3.115 triliun), menunjukkan potensi pertumbuhan yang signifikan.
Dengan hilirisasi, produk biofarmaka Indonesia dapat berkembang dari sekadar produk tradisional menjadi suplemen kesehatan yang diakui secara internasional.
Transformasi ini akan memungkinkan produk Indonesia bersaing dengan negara-negara seperti Korea, China, dan India yang telah lebih dulu menguasai pasar herbal global.
Meski memiliki potensi besar, produk biofarmaka Indonesia masih menghadapi tantangan untuk memenuhi standar internasional.
Regulasi ketat terkait keamanan, kualitas, dan efektivitas sering kali membatasi akses produk Indonesia di pasar global.
Selain itu, banyak produk yang belum tersertifikasi atau memenuhi persyaratan seperti Good Manufacturing Practice (GMP).
Baca juga: Kacang Mete: Komoditas Potensial di Lahan Marginal
Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas produk melalui standardisasi.
Salah satunya adalah penyusunan SNI kunyit (SNI 7953:2024) dan SNI jahe kering (SNI 3393:2024), yang diharapkan dapat memperkuat daya saing produk berbasis kunyit dan jahe di pasar internasional.
Kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk berbasis biofarmaka.
Standar nasional yang diterapkan bertujuan memastikan produk perkebunan, seperti kunyit dan jahe, memiliki kualitas sesuai standar global, memberikan keuntungan lebih besar bagi petani, dan memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional.
Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendorong hilirisasi serta memajukan industri biofarmaka sebagai salah satu sektor unggulan perekonomian nasional.
Teknologi menjadi kunci utama dalam mentransformasi biofarmaka menjadi industri modern yang berdaya saing tinggi, baik di tingkat nasional maupun global.
Modernisasi proses produksi dan pengolahan tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memastikan kualitas produk yang lebih baik, daya tahan lebih lama, dan keamanan yang terjamin.
Indonesia, dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, memiliki posisi strategis sebagai pemain utama dalam penyediaan bahan baku obat tradisional maupun modern.
Tanaman seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak, secang, sambiloto, dan kayu putih bukan hanya bagian dari warisan budaya, tetapi juga menjadi komoditas penting dalam industri farmasi modern.
Potensi ini semakin relevan seiring dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk berbasis herbal dan alami.
Hilirisasi menjadi langkah penting dalam menjadikan produk biofarmaka Indonesia lebih kompetitif di pasar global.
Melalui hilirisasi, produk biofarmaka tidak hanya berfungsi sebagai bahan mentah, tetapi juga diolah menjadi produk akhir seperti suplemen kesehatan, kosmetik berbasis herbal, dan produk medis yang diakui secara internasional.
Transformasi ini akan memberikan nilai tambah signifikan, baik bagi petani, industri, maupun perekonomian nasional secara keseluruhan.
Dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi, biofarmaka Indonesia memiliki peluang besar untuk menembus pasar internasional, bersaing dengan produk-produk dari negara lain seperti Korea Selatan, China, dan India yang telah lebih dulu mapan di industri ini.
Standardisasi produk penting tidak hanya untuk memastikan kualitas produk, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan pasar global terhadap produk Indonesia.
Selain itu, dibutuhkan penguatan infrastruktur logistik dan distribusi agar produk biofarmaka dapat diakses secara luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Upaya kolaboratif antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi riset dalam membangun ekosistem yang mendukung inovasi dan pengembangan sangat diperlukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.