Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawar Khalil N
Aparatur Sipil Negara

Aparatur Sipil Negara

Anggur Muscat dan Keberpihakan pada Buah Lokal

Kompas.com, 6 Februari 2025, 14:58 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIR 2024 lalu, heboh di media pemberitaan tentang temuan organisasi keamanan pangan di Thailand mengenai anggur Shine Muscat yang tercemar residu pestisida.

Temuan yang sebenarnya merupakan investigasi pihak swasta (bukan otoritas resmi keamanan pangan Thailand) memicu kehebohan di Asia Tenggara setidaknya di empat negara; Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Malaysia dan Singapura mengeluarkan rilis resmi bahwa berdasarkan hasil uji laboratorium, dua negara tetangga Indonesia ini menyatakan anggur muscat yang beredar di sana aman untuk dikonsumsi.

Di Indonesia kehebohan yang sama terjadi. Publik mempertanyakan apakah anggur muscat yang beredar aman atau tidak.

Badan Pangan Nasional selaku Otoritas Kompeten Keamanan Pangan (OKKP) segera melakukan sampling di berbagai daerah. Hasilnya diumumkan melalui konferensi pers bersama dengan BPOM dan Badan Karantina Indonesia.

Ketiga institusi yang berkaitan dengan pengawasan keamanan pangan ini menyatakan bahwa anggur muscat yang beredar di Indonesia aman dikonsumsi.

Baca juga: Narasi dan Komodifikasi Pangan Lokal

Berkaca dari kasus anggur muscat ini, selayaknya menjadi momentum untuk mengangkat buah lokal dan menopang peningkatan kualitas pangan masyarakat.

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai indikator kualitas konsumsi pangan menunjukkan pada 2023 sebesar 94,1 meningkat dari tahun 2022 yang tercatat di angka 92,9.

Namun dari rincian skor PPH tersebut, meski kelompok buah dan sayur sudah memenui Angka Kecukupan Gizi (AKG) ideal sebesar 6 persen, kelompok buah/biji berminyak masih di bawah, yaitu 0,8 persen dari AKG ideal sebesar 3 persen.

Begitu pula kelompok pangan lainnya seperti padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, kacang-kacangan, serta gula masih perlu didorong menuju AKG ideal.

Indikasi perlunya mendorong konsumsi buah dan sayuran untuk pemenuhan kualitas konsumsi pangan gizi juga ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang digelar Kompas pada 2022 (Kompas.id, 1/2/2025).

Hasil survei, hanya 39,1 persen responden yang rutin mengonsumsi kombinasi sayur dan buah setiap hari. Sementara 21,4 persen hanya mengonsumsi salah satu di antaranya.

Baca juga: Pemuda, Petani, dan Pangan

Sedangkan sebanyak 15 persen responden sama sekali tidak memenuhi standar konsumsi buah dan sayuran harian.

Indonesia tidak kekurangan buah yang diproduksi di berbagai daerah. Ragam buah lokal itu tersedia sepanjang tahun karena tumbuh dan berbuah di waktu yang berbeda.

Badan Pusat Statisik (BPS) mencatat ada banyak jenis buah lokal yang banyak diproduksi di Indonesia.

Pada 2023, jumlah produksi buah durian 1,8 juta ton, jeruk 2,8 juta ton, mangga 3,3 juta ton, nanas 3,1 juta ton, pepaya 1,2 juta ton, pisang 9,3 juta ton, rambutan 845.000 ton, salak 1,1 juta ton, Alpukat 874.000 ton, jambu biji 404.000 ton, manggis 397.000 ton, dan nangka 789.000 ton.

Sebaran produksinya pun berada di seluruh provinsi dengan volume produksi berbeda-beda.

Aneka buah ini memiliki musim panen yang tidak sama, sehingga sepanjang tahun kita dapat menikmati berbagai macam buah.

Sebagai contoh, di Januari buah manggis dan rambutan, Februari ada jeruk, September ada mangga, dan Desember buah durian banyak ditemukan di pasaran.

Seiring dengan era pasar bebas, serbuan buah impor memang menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan buah lokal.

Baca juga: Jagung Bose dan Makan Bergizi Gratis

Buah impor seperti anggur, apel, mangga, bahkan jeruk dari sisi kemasan memang nampak lebih menarik, dan harganya lebih bersaing.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2020, impor buah-buahan sebesar 638.000 ton, dengan nilai 1,27 miliar dollar AS. Angka ini meningkat sekitar 7,4 persen menjadi 689.000 ton dengan nilai 1,44 miliar dollar AS pada 2023.

Karena itu, perlu dukungan pemerintah yang lebih kuat kepada para produsen dan pelaku usaha buah lokal.

Dari sisi produsen, petani buah lokal mesti mendapat dukungan yang baik dari aspek produksi hingga pascapanen, sehingga mereka tetap semangat bertanam, dan buah lokal yang dihasilkan juga punya kualitas yang baik.

Ini penting untuk meningkatkan daya saing buah lokal, baik di pasar domestik maupun internasional.

Dari sisi konsumen, edukasi dan sosialisasi terhadap pentingnya keberpihakan terhadap buah lokal harus terus dilakukan.

Sebab buah lokal yang ada di Indonesia begitu beragam dan tentu saja lebih segar dari buah impor seperti anggur muscat.

Buah lokal tidak perlu menempuh perjalanan panjang dari tempat-tempat yang jauh. Selain itu, memilih untuk mengonsumsi buah lokal merupakan bentuk keberpihakan kita pada petani/produsen dalam negeri.

Sebetulnya alasan sederhana ini lebih dari cukup untuk memutuskan memilih buah lokal daripada buah impor.

Apalagi jika dikaitkan dengan dorongan swasembada pangan sebagai bagian dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Swasembada pangan sejatinya mencakup seluruh komoditas pangan. Tidak hanya pangan pokok strategis berdampak signifikan terhadap inflasi, seperti beras.

Buah-buahan hasil produksi petani dalam negeri juga menjadi kontributor swasembada pangan. Dorongan para seluruh stakeholder, pemangku kebijakan, upaya ini akan bisa lebih terakselerasi.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Varietas Tanaman
Halusinasi Negara Agraris
Halusinasi Negara Agraris
Tips
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Tips
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Varietas Tanaman
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Varietas Tanaman
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Varietas Tanaman
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau