Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah

Kompas.com - 16 November 2025, 07:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

SELAMA ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) identik dengan tambang timah. Namun, data BPS justru mengungkap realitas baru, perekonomian Babel kini lebih banyak digerakkan oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Dari total PDRB sebesar Rp102,64 triliun di tahun 2023, sektor ini menyumbang sekitar Rp20 triliun (atau 19,49%) hampir tiga kali lipat dibanding kontribusi sektor pertambangan dan penggalian yang hanya 7,64% atau Rp7,8 triliun.

Bahkan, jika dilihat dari lima sektor penyumbang utama PDRB Babel, urutan teratas ditempati oleh industri pengolahan (21,15%), disusul pertanian, perdagangan (15,69%), konstruksi (9,50%), dan barulah tambang di posisi kelima. Fakta ini menegaskan bahwa pertanian adalah fondasi nyata ekonomi Babel hari ini, jauh dari bayang-bayang romantisme masa kejayaan timah.

Lebih dari sekadar statistik, sektor pertanian memiliki akar sosial dan ekologis yang kuat. Perkebunan lada putih Muntok menjadi bukti paling otentik, dimana komoditas legendaris yang tak hanya dikenal dunia karena kadar piperin tertingginya, tetapi juga karena nilai sejarah dan peran vitalnya dalam menghidupi puluhan ribu keluarga pekebun.

Sayangnya, keunggulan ini kian tergerus oleh ketimpangan perhatian pembangunan, ekspansi tambang, dan krisis regenerasi petani. Padahal, dengan harga lada putih global yang terus meningkat, potensi nilai tambah dari sektor ini sangat besar. Lebih penting lagi, sektor pertanian adalah sumber daya terbarukan, inklusif secara sosial, dan jauh lebih ramah lingkungan.

Di tengah tantangan krisis iklim dan degradasi alam, mengandalkan pertanian berarti membangun Babel yang tangguh dan berkelanjutan. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berani mengambil langkah strategis dengan merevitalisasi kebun lada, memperkuat kelembagaan petani, membangun hilirisasi industri lada, dan menghentikan eksploitasi tambang yang merusak daya dukung lingkungan.

Lada putih Bangka Belitung harus kembali naik panggung sebagai simbol kebangkitan ekonomi hijau. Jika pertanian diberdayakan dengan visi jangka panjang, Babel bukan hanya akan bangkit secara ekonomi, tetapi juga tampil sebagai model pembangunan lestari yang menjaga warisan bumi untuk generasi mendatang.

Baca juga: Menakar Potensi Ekspor Lada Putih Muntok

LadaShutterstock Lada

Lada Putih Muntok: Aset Bernilai Tinggi yang Terlupakan

Salah satu pilar utama pertanian Bangka Belitung (Babel) adalah perkebunan lada putih, terutama varietas legendaris Muntok White Pepper. Komoditas ini dikenal dunia sebagai lada dengan kadar piperin tertinggi (mencapai 5–7%) yang menjadikannya lada putih dengan cita rasa paling tajam dan premium secara global.

Sejak masa kolonial, lada dari Bangka telah menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia dan membuat daerah ini dijuluki “Pulau Lada”. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pamor lada perlahan tenggelam di tengah dominasi tambang timah. Aset agrikultur berharga ini seakan dilupakan oleh arah kebijakan dan fokus pembangunan daerah.

Dulu, lada adalah tulang punggung ekonomi Babel yang menyejahterakan puluhan ribu keluarga petani. Kualitasnya diakui secara internasional hingga memperoleh sertifikasi Indikasi Geografis yang membuka akses pasar premium Eropa. Tapi kini, kejayaan itu pudar. Generasi muda lebih memilih pekerjaan di luar sektor pertanian atau beralih ke tambang dan sawit yang dinilai lebih cepat menghasilkan.

Kurangnya regenerasi dan minimnya inovasi membuat sektor lada putih terpinggirkan. Akibatnya, produktivitas menurun, lahan terbengkalai, dan jumlah petani terus menyusut. Data menunjukkan krisis serius. Dalam lima tahun (2019–2024), lahan tanaman lada susut 32%, jumlah petani merosot 33%, dan produksi anjlok 50%—dari 33.458 ton menjadi hanya 16.717 ton.

Di lapangan, petani menghadapi banyak kendala, diantaranya penyakit tanaman, tingginya biaya budidaya, dan hasil yang tak sebanding dengan upaya. Di sisi lain, sistem pemasaran (off-farm) pun tidak berpihak pada petani. Struktur pasar oligopolistik dan praktik ijon membuat petani tak punya kekuatan tawar, sehingga harga jual tidak mencerminkan nilai sebenarnya. Semua ini mempercepat eksodus petani dari kebun lada.

Padahal, bila dikelola serius, lada putih bisa menjadi sumber pendapatan daerah yang luar biasa. Harga global lada putih mencapai US$10.085 per ton atau sekitar Rp161.360 per kilogram. Jika produksi kembali ke level 2019, nilai ekonomi lada Babel bisa menyentuh Rp5,39 triliun per tahun. Saat ini, potensi itu hanya tergarap setengahnya. Kerugian kesempatan (opportunity loss) akibat penurunan produksi diperkirakan mencapai Rp2,69 triliun setiap tahun. Ini bukan hanya angka di atas kertas, melainkan potensi riil yang hilang dari kantong petani, pelaku industri, dan penerimaan daerah.

Nilai sebesar itu setara lebih dari 5% PDRB Babel, membuktikan bahwa lada putih punya posisi strategis yang bisa menyaingi kontribusi tambang. Dampaknya tidak berhenti pada pendapatan petani, juga kebangkitan lada akan menggerakkan industri hilir, menciptakan lapangan kerja, menggairahkan UMKM, dan memperkuat ekspor nonmigas. Dengan pendekatan ekonomi hijau dan revitalisasi kebun lada yang berkelanjutan, Babel bisa menjadikan lada putih bukan hanya sebagai komoditas unggulan, tapi sebagai simbol transformasi ekonomi daerah yang inklusif, lestari, dan mendunia.

Baca juga: Lada Putih dan Lada Hitam, Apa Bedanya?

Menggeser Fokus ke Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Berbeda dengan lada yang dapat diperbaharui setiap musim, timah adalah sumber daya tak terbarukan yang menyimpan konsekuensi besar ketika dieksploitasi berlebihan. Selama puluhan tahun, Bangka Belitung (Babel) terlalu menggantungkan diri pada tambang timah. Meski menghasilkan pemasukan daerah dan lapangan kerja, dampaknya terhadap lingkungan dan sosial sangat besar: lubang-lubang tambang yang menganga, hutan gundul, sedimentasi sungai, hingga terganggunya keseimbangan ekosistem darat dan laut.

Dalam jangka panjang, timah telah menggerus kualitas hidup masyarakat dan menyisakan luka ekologis yang dalam. Secara ekonomi, ketergantungan pada sektor tambang membuat Babel rentan terhadap gejolak pasar global. Harga timah sangat fluktuatif, dan ketika harganya jatuh atau ada penertiban tambang ilegal, ekonomi daerah bisa langsung goyah.

BPS mencatat industri pengolahan di Babel pernah mengalami kontraksi akibat anjloknya harga timah. Ini menunjukkan bahwa tambang bukan pondasi yang stabil. Maka dari itu, diversifikasi ekonomi mutlak diperlukan agar Babel tidak jatuh dalam “kutukan sumber daya”, di mana daerah kaya SDA justru tertinggal saat kekayaan itu habis.

Di sinilah ekonomi hijau menjadi solusi masa depan. Babel memiliki banyak potensi non-tambang, dari perkebunan lada putih, hasil laut, hingga pariwisata alam. Lada putih Muntok, sebagai tanaman tahunan, dapat ditanam kembali di lahan bekas tambang melalui konsep agroforestri. Hal ini tidak hanya memulihkan ekosistem, tapi juga menumbuhkan sumber ekonomi baru.

Untuk itu, dibutuhkan strategi komprehensif, revitalisasi budidaya lada dengan bibit unggul dan pendampingan modern. Disamping itu perlu pembenahan tata niaga agar petani memperoleh harga yang adil serta hilirisasi industri lada agar ekspor tak lagi dalam bentuk mentah, melainkan bernilai tambah tinggi seperti bubuk, minyak, atau produk olahan lainnya. Dengan arah baru ini, Babel bukan hanya bisa keluar dari bayang-bayang timah, tapi juga tampil sebagai provinsi model ekonomi hijau dan berkelanjutan di Indonesia.

Baca juga: 4 Jenis Lada di Indonesia, Tidak Cuma Lada Putih

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Menata Ulang Kemitraan Gula: Jalan Menuju Kemandirian
Varietas Tanaman
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Kluwek: Rahasia Kepayang pada Kuliner Nusantara
Varietas Tanaman
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Bongkar Ratoon Tebu, Jalan Cepat Swasembada Gula
Varietas Tanaman
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Optimisme Pengembangan Kelapa Indonesia
Varietas Tanaman
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Menggali Kembali Kejayaan Pala Nusantara
Varietas Tanaman
Mendorong Nilai Tambah di Negeri Seribu Kelapa
Mendorong Nilai Tambah di Negeri Seribu Kelapa
Varietas Tanaman
Anomali Pasokan Kakao: Analisa dan Solusi untuk Industri
Anomali Pasokan Kakao: Analisa dan Solusi untuk Industri
Varietas Tanaman
Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Varietas Tanaman
Mengangkat Nilai Rempah Nusantara
Mengangkat Nilai Rempah Nusantara
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau