Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sigid Mulyadi
ASN

Praktisi Pemerintahan

Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman

Kompas.com, 17 Desember 2025, 09:36 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

APAKAH kita masih mengenal sukun sebagai pangan, ataukah ia telah direduksi sekadar menjadi camilan gorengan di pinggir jalan? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi jawabannya menyimpan persoalan besar tentang cara kita memandang pangan, alam, dan ketahanan hidup bersama.

Buah sukun bukanlah tanaman asing. Ia tumbuh subur di banyak wilayah Indonesia, dari pesisir hingga pedalaman. Cukup ketik kata sukun di Google atau YouTube, maka akan muncul beragam foto dan video yang menegaskan kelimpahannya. Namun kelimpahan tidak selalu berarti pemanfaatan yang bijak.

Dalam praktik sehari-hari, sukun nyaris selalu hadir dalam dua rupa: sukun goreng atau keripik sukun. Seolah-olah di situlah batas imajinasi kuliner kita berhenti. Padahal, ada satu olahan yang jarang dibicarakan, sederhana, tetapi mengejutkan rasanya: sukun kukus.

Pengalaman saya bermula secara kebetulan. Suatu hari saya membeli satu buah sukun yang belum matang. Karena penasaran, saya membelahnya menjadi dua. Satu belahan saya kupas kulitnya, lalu saya kukus. Hasilnya empuk dan mengenyangkan, meskipun belum ada rasa manis. Untuk menyempurnakannya, saya menyantap sukun kukus itu bersama air gula aren yang dimasak dengan santan. Rasanya hangat, lembut, dan bersahaja—sebuah rasa yang mengingatkan bahwa kenikmatan tidak selalu lahir dari proses yang rumit.

Beberapa hari kemudian, saya kembali pada belahan sukun yang tersisa. Kali ini teksturnya berubah. Ada aroma khas yang menandakan kematangan alami. Saya tidak lagi mengupas kulitnya. Cukup dicuci, dipotong-potong, lalu dikukus. Hasilnya jauh lebih mengejutkan: empuk, manis, dan lezat, bahkan tanpa tambahan gula. Sukun itu seakan ingin berkata bahwa alam tahu kapan dan bagaimana memberi rasa terbaiknya.

Baca juga: 11 Sumber Makanan Pengganti Nasi, Lebih Sehat dan Mudah Dimasak

Ilustrasi buah sukunShutterstock/Carlos Nin Gomez Ilustrasi buah sukun

Dari pengalaman sederhana itu, muncul dugaan yang masuk akal: sukun adalah sumber karbohidrat dan serat yang sangat potensial. Ia mengenyangkan, mudah diolah, dan tumbuh tanpa perlakuan intensif. Dengan kata lain, sukun layak dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti nasi beras. Dan jika sukun bisa memainkan peran tersebut, maka umbi-umbian dan tanaman pangan lain pun sesungguhnya memiliki peluang yang sama.

Di titik inilah kita perlu berhenti sejenak dan berpikir lebih kritis. Selama ini, konsep ketahanan pangan kerap disempitkan menjadi persoalan beras. Produksi padi ditempatkan sebagai poros utama, seolah-olah ketahanan pangan identik dengan ketersediaan nasi.

Dalam kerangka pikir seperti itu, tanaman pangan lain—seperti sukun, ubi, atau jagung—sering kali dipandang berada di pinggiran, meskipun secara nutrisi sama-sama menyumbang karbohidrat. Imajinasi kolektif kita telah lama dibentuk oleh keyakinan bahwa makan belum sepenuhnya “dianggap makan” jika belum nasi.

Cara pandang inilah yang patut dikritisi. Bukan karena nasi tidak penting, melainkan karena ketergantungan pada satu jenis pangan justru membuat sistem pangan kita rentan. Ketika produksi beras terganggu oleh perubahan iklim, krisis air, atau faktor lain di luar kendali petani, kegelisahan sosial pun mudah muncul.

Padahal, jika sejak awal kita membiasakan diri mengonsumsi beragam sumber karbohidrat yang tersedia di sekitar kita, guncangan semacam itu tidak perlu menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan nasional. Keanekaragaman pangan bukan sekadar isu gizi, melainkan juga isu ekologi dan kedaulatan.

Baca juga: Kedaulatan Pangan di Tanah Rapuh: Janji Agraria yang Belum Tercapai

Tanaman seperti sukun relatif ramah lingkungan, tidak menuntut banyak air, dan dapat tumbuh bertahun-tahun tanpa perlu ditanam ulang. Ia memberi pangan sekaligus menjaga lanskap. Mengorbankannya demi sawah monokultur berarti mempertaruhkan keseimbangan alam demi kenyamanan selera.

Yang perlu kita lakukan bukan memaksa semua orang berhenti makan nasi, melainkan membuka kembali ruang bagi pilihan. Mencoba, mencicipi, dan menikmati kembali makanan-makanan yang dulu akrab dengan kehidupan kita.

Mengembalikan sukun, singkong, dan jagung ke meja makan, bukan sebagai simbol kemiskinan, tetapi sebagai wujud kearifan. Sukun kukus mungkin terdengar remeh. Namun dari sepiring sukun kukus, kita bisa belajar satu hal penting: ketahanan pangan tidak dibangun dari keseragaman, melainkan dari keberagaman. Dan di situlah kekayaan sejati negeri ini sesungguhnya berada.

Baca juga: Rahasia Keripik Sukun Renyah Tahan Lama, Rendam 3 Bahan Ini!

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Belajar dari Sukun Kukus: Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Keanekaragaman
Varietas Tanaman
Halusinasi Negara Agraris
Halusinasi Negara Agraris
Tips
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Tips
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Varietas Tanaman
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Varietas Tanaman
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Varietas Tanaman
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau