Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
APAKAH kita masih mengenal sukun sebagai pangan, ataukah ia telah direduksi sekadar menjadi camilan gorengan di pinggir jalan? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi jawabannya menyimpan persoalan besar tentang cara kita memandang pangan, alam, dan ketahanan hidup bersama.
Buah sukun bukanlah tanaman asing. Ia tumbuh subur di banyak wilayah Indonesia, dari pesisir hingga pedalaman. Cukup ketik kata sukun di Google atau YouTube, maka akan muncul beragam foto dan video yang menegaskan kelimpahannya. Namun kelimpahan tidak selalu berarti pemanfaatan yang bijak.
Dalam praktik sehari-hari, sukun nyaris selalu hadir dalam dua rupa: sukun goreng atau keripik sukun. Seolah-olah di situlah batas imajinasi kuliner kita berhenti. Padahal, ada satu olahan yang jarang dibicarakan, sederhana, tetapi mengejutkan rasanya: sukun kukus.
Pengalaman saya bermula secara kebetulan. Suatu hari saya membeli satu buah sukun yang belum matang. Karena penasaran, saya membelahnya menjadi dua. Satu belahan saya kupas kulitnya, lalu saya kukus. Hasilnya empuk dan mengenyangkan, meskipun belum ada rasa manis. Untuk menyempurnakannya, saya menyantap sukun kukus itu bersama air gula aren yang dimasak dengan santan. Rasanya hangat, lembut, dan bersahaja—sebuah rasa yang mengingatkan bahwa kenikmatan tidak selalu lahir dari proses yang rumit.
Beberapa hari kemudian, saya kembali pada belahan sukun yang tersisa. Kali ini teksturnya berubah. Ada aroma khas yang menandakan kematangan alami. Saya tidak lagi mengupas kulitnya. Cukup dicuci, dipotong-potong, lalu dikukus. Hasilnya jauh lebih mengejutkan: empuk, manis, dan lezat, bahkan tanpa tambahan gula. Sukun itu seakan ingin berkata bahwa alam tahu kapan dan bagaimana memberi rasa terbaiknya.
Baca juga: 11 Sumber Makanan Pengganti Nasi, Lebih Sehat dan Mudah Dimasak
Ilustrasi buah sukunDari pengalaman sederhana itu, muncul dugaan yang masuk akal: sukun adalah sumber karbohidrat dan serat yang sangat potensial. Ia mengenyangkan, mudah diolah, dan tumbuh tanpa perlakuan intensif. Dengan kata lain, sukun layak dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti nasi beras. Dan jika sukun bisa memainkan peran tersebut, maka umbi-umbian dan tanaman pangan lain pun sesungguhnya memiliki peluang yang sama.
Di titik inilah kita perlu berhenti sejenak dan berpikir lebih kritis. Selama ini, konsep ketahanan pangan kerap disempitkan menjadi persoalan beras. Produksi padi ditempatkan sebagai poros utama, seolah-olah ketahanan pangan identik dengan ketersediaan nasi.
Dalam kerangka pikir seperti itu, tanaman pangan lain—seperti sukun, ubi, atau jagung—sering kali dipandang berada di pinggiran, meskipun secara nutrisi sama-sama menyumbang karbohidrat. Imajinasi kolektif kita telah lama dibentuk oleh keyakinan bahwa makan belum sepenuhnya “dianggap makan” jika belum nasi.
Cara pandang inilah yang patut dikritisi. Bukan karena nasi tidak penting, melainkan karena ketergantungan pada satu jenis pangan justru membuat sistem pangan kita rentan. Ketika produksi beras terganggu oleh perubahan iklim, krisis air, atau faktor lain di luar kendali petani, kegelisahan sosial pun mudah muncul.
Padahal, jika sejak awal kita membiasakan diri mengonsumsi beragam sumber karbohidrat yang tersedia di sekitar kita, guncangan semacam itu tidak perlu menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan nasional. Keanekaragaman pangan bukan sekadar isu gizi, melainkan juga isu ekologi dan kedaulatan.
Baca juga: Kedaulatan Pangan di Tanah Rapuh: Janji Agraria yang Belum Tercapai
Tanaman seperti sukun relatif ramah lingkungan, tidak menuntut banyak air, dan dapat tumbuh bertahun-tahun tanpa perlu ditanam ulang. Ia memberi pangan sekaligus menjaga lanskap. Mengorbankannya demi sawah monokultur berarti mempertaruhkan keseimbangan alam demi kenyamanan selera.
Yang perlu kita lakukan bukan memaksa semua orang berhenti makan nasi, melainkan membuka kembali ruang bagi pilihan. Mencoba, mencicipi, dan menikmati kembali makanan-makanan yang dulu akrab dengan kehidupan kita.
Mengembalikan sukun, singkong, dan jagung ke meja makan, bukan sebagai simbol kemiskinan, tetapi sebagai wujud kearifan. Sukun kukus mungkin terdengar remeh. Namun dari sepiring sukun kukus, kita bisa belajar satu hal penting: ketahanan pangan tidak dibangun dari keseragaman, melainkan dari keberagaman. Dan di situlah kekayaan sejati negeri ini sesungguhnya berada.
Baca juga: Rahasia Keripik Sukun Renyah Tahan Lama, Rendam 3 Bahan Ini!
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarangArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya