PALA (Myristica fragrans) adalah salah satu rempah Nusantara yang telah memainkan peran penting dalam perdagangan dunia sejak zaman nenek moyang.
Perdagangan pala Indonesia, yang berpusat di Kepulauan Banda, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah global selama ribuan tahun.
Sejak era Romawi, pala telah dianggap sebagai simbol kemewahan, memikat bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda pada abad ke-15 dan 16.
Pada abad ke-17, VOC memonopoli perdagangan pala, menjadikan Banda sebagai pusat produksi eksklusif, bahkan mencatat sejarah dengan pertukaran Kepulauan Banda dan Pulau Manhattan dalam Perjanjian Breda 1667.
Nilai ekonomis dan strategis pala ini mendorong eksplorasi serta kolonisasi besar-besaran. Setelah masa kolonial berakhir, Indonesia tetap menjadi produsen utama dunia, menjadikan pala bukan hanya sebagai komoditas strategis, tetapi juga warisan berharga yang terus memainkan peran penting di pasar global.
Sebagai negara penghasil utama, Indonesia saat ini menyumbang sekitar 31 persen dari total produksi pala dunia.
Komoditas ini tidak hanya digunakan sebagai bumbu dapur, tetapi juga menjadi bahan baku esensial di berbagai sektor industri, seperti makanan olahan, kosmetik, dan farmasi.
Pada 2021, volume ekspor pala Indonesia mencapai 26.461 ton dengan nilai sekitar 198 juta dollar AS, setara dengan Rp 2,8 triliun.
Peningkatan nilai ini didorong diversifikasi produk pala, termasuk minyak atsiri dan bubuk pala olahan, yang terus diminati pasar internasional.
Provinsi Maluku, Papua, dan Sulawesi Utara sebagai daerah penghasil utama memiliki peran sentral dalam mendukung produksi nasional.
Namun, di balik keberhasilan ini, tantangan signifikan tetap ada, termasuk isu kualitas seperti kadar aflatoksin tinggi, yang menjadi alasan penolakan ekspor oleh beberapa negara tujuan utama, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Pada 2023, ekspor pala menghadapi tantangan tambahan akibat standar mutu yang semakin ketat di pasar global, memaksa Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas dan produktivitasnya.
Namun, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengatasi tantangan ini dan memperkuat posisinya di pasar global.
Dengan adopsi teknologi budidaya modern seperti Good Agricultural Practices (GAP), standarisasi, dan rehabilitasi lahan produktif di Maluku dan Papua, serta pengembangan varietas unggul Kementerian Pertanian, produktivitas dan kualitas pala dapat ditingkatkan.
Data terbaru menunjukkan bahwa potensi lahan perkebunan pala di Indonesia, terutama di Maluku dan Papua, mencapai lebih dari 800.000 hektare, jika dikelola dengan baik, pala dapat terus menjadi "emas hijau" Nusantara.
Meskipun memiliki luas lahan yang signifikan, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar dalam meningkatkan produktivitas pala.
Saat ini, rata-rata hasil per hektare di Indonesia hanya mencapai 1,7 ton, jauh tertinggal dibandingkan India yang mampu menghasilkan 4,02 ton per hektare.
Faktor utama yang menyebabkannya adalah penggunaan teknologi budidaya tradisional, rendahnya adopsi bibit unggul, dan minimnya perhatian terhadap pengelolaan pascapanen.
Selain itu, masalah kualitas produk juga menjadi penghambat daya saing pala Indonesia di pasar internasional.
Tingginya kandungan aflatoksin dalam biji pala sering menjadi alasan penolakan ekspor oleh negara-negara seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.
Kegagalan dalam memenuhi standar mutu internasional ini mengindikasikan perlunya regulasi yang lebih ketat dan pendampingan teknis berkelanjutan bagi petani.
Untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing pala di pasar global, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan holistik yang mencakup berbagai strategi inovatif.
Salah satu langkah utama adalah penerapan Good Agricultural Practices (GAP), yang mencakup penggunaan bibit unggul, teknik pemupukan modern, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pemerintah juga harus menyediakan pelatihan dan bantuan teknis untuk mempercepat adopsi teknologi di tingkat petani.
Diversifikasi produk menjadi prioritas penting lainnya. Selain biji pala, produk bernilai tambah seperti minyak atsiri dan bubuk olahan memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan ekspor.
Produk-produk ini dapat menyasar sektor kosmetik, farmasi, dan makanan olahan yang terus berkembang di pasar global.
Di sisi lain, ekstensifikasi dan rehabilitasi lahan di wilayah seperti Maluku dan Papua menawarkan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional.
Potensi lahan lebih dari 800.000 hektare di wilayah ini dapat menjadi pilar penting dalam strategi pengembangan pala.
Indonesia telah mengembangkan berbagai varietas unggul tanaman pala (Myristica fragrans) melalui program penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri), sata ini dibawah BSIP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Salah satu varietas unggul adalah Pala Banda, yang dilepas pada tahun 2009 dan berasal dari Kepulauan Banda, Maluku. Varietas ini memiliki ciri khas aroma yang tajam, produksi mencapai 5.120 butir per pohon per tahun, dan kadar minyak atsiri hingga 21,71 persen.
Selain itu, Pala Tiangau Agribun, yang dilepas pada 2020 oleh Balittri, berasal dari Kepulauan Anambas dan dikenal karena produksinya yang tinggi, mencapai 11.064 butir per pohon per tahun, dengan kadar myristisin mencapai 37,38 persen, menjadikannya pilihan ideal untuk budidaya di wilayah tropis.
Varietas lain yang menarik perhatian adalah Makian dan Tidore 1, yang masing-masing dilepas pada tahun 2016 dan 2020.
Varietas Makian, berasal dari Halmahera Selatan, memiliki buah berbentuk bulat dengan fuli merah darah, menghasilkan 2.500 butir per pohon, dan kadar minyak atsiri mencapai 12,6%.
Sementara itu, Tidore 1 unggul dalam ketahanan terhadap hama dan penyakit, menjadikannya cocok untuk daerah yang rawan gangguan tanaman.
Varietas Nurpakuan Agribun, dilepas pada 2019, berasal dari Bogor dan memiliki produksi tinggi sebesar 8.730 butir per pohon per tahun dengan kadar minyak atsiri dalam fuli tua sebesar 12,18%. Semua varietas ini mencerminkan upaya serius pemerintah dalam memperkuat sektor agribisnis pala di Indonesia.
Pengembangan varietas unggul ini bertujuan meningkatkan produktivitas dan kualitas pala untuk memenuhi permintaan global yang terus meningkat.
Dengan fokus pada aspek ketahanan hama, kualitas aroma, dan kandungan minyak atsiri, varietas-varietas ini dirancang untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen utama pala dunia.
Peran Balittri dalam melepas varietas unggul ini sangat penting, terutama untuk mendukung petani dalam mengatasi tantangan agronomis dan memenuhi standar mutu internasional.
Melalui adopsi varietas ini, diharapkan pendapatan petani meningkat, dan ekspor pala Indonesia semakin kompetitif di pasar global.
Dengan implementasi strategi-strategi tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya mempertahankan statusnya sebagai produsen utama pala dunia, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin global dalam perdagangan rempah.
Pala bukan hanya cerita tentang warisan, tetapi juga simbol inovasi dan kolaborasi antara pemerintah, petani, dan sektor swasta.
Kejayaan pala sebagai "emas hijau" Nusantara adalah tanggung jawab bersama untuk dirawat, dikembangkan, dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.