KABUT pagi mengambung di antara dedahanan randu, membentuk siluet samar di tepi sawah yang diselimuti embun. Serat emas putih kapuk randu, melayang seperti hujan salju dalam gerakan lamban.
Di balik kesenyapan itu, daun-daun pohon randu seakan berbisik tentang masa lalu, ketika mereka menjadi raja komoditas yang tak terbantahkan, tapi kini menjadi potensi kekayaan yang terlupakan.
Generasi muda kita mungkin tak lagi mengenal "Java Kapok". Namun, di antara akar-akar randu yang kokoh menghujam, pohon ini menyimpan beragam potensi.
Di balik serat kapuk yang lembut dan ringan, tersembunyi potensi genetik yang suatu hari akan merevolusi industri tekstil hijau.
Kini, industri tekstil dan fesyen global berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, sektor ini merupakan penggerak utama perekonomian dunia.
Namun di sisi lain, ia menyumbang sekitar 10 persen emisi karbon global dan mengonsumsi hingga 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya.
Bahan baku konvensional seperti kapas dan poliester mulai dipertanyakan karena dampak ekologis yang ditimbulkan.
Baca juga: Serat Alam dari Masa Lalu: Potensi Abaca di Indonesia
Dalam situasi krisis iklim yang semakin mendesak, dunia memerlukan alternatif serat alami yang berkelanjutan.
Di sinilah serat randu warisan nusantara, sang "emas putih" yang terlupakan, kembali hadir menawarkan secercah harapan.
Kapuk randu Indonesia pernah menjadi primadona di pentas global. Sebelum Perang Dunia I, Nusantara menguasai 85 persen produksi kapuk dunia, dengan Pulau Jawa menyumbang 60 persen di antaranya.
Seratnya yang ringan dan tahan air diincar pabrik tekstil Eropa dan Amerika untuk bahan pakaian hangat, kasur, hingga pelampung penyelamat.
Di dalam negeri, randu menjadi tumpuan ekonomi pedesaan. Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, misalnya, pernah memproduksi 25.000 ton kapuk per tahun, menjadikan kapuk randu dan tebu sebagai lambang Kabupaten Pasuruan.
Tak hanya sebagai komoditas, kapuk meresap dalam budaya lokal. Di Bali, serat kapuk dari Nusa Penida dipintal manual menjadi benang untuk tenun gringsing, direndam minyak kemiri berbulan-bulan demi kekuatan serat.
Namun, kemilau randu meredup seiring gempuran serat sintetis murah seperti polyester dan busa. Pohon-pohon randu dibiarkan tua tanpa peremajaan, bahkan ditebang untuk tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Dampaknya drastis, pada 2013, luas perkebunan kapuk Indonesia menyusut menjadi 157.000 hektare dengan produksi 61.000 ton per tahun, jauh di bawah masa kejayaan.