INDONESIA pernah menempati posisi ketiga produsen kakao dunia dengan produksi puncak mencapai 844.000 ton pada 2010. Namun, data terkini menunjukkan tren menurun.
Produksi kakao pada 2023 hanya sekitar 632.100 ton, turun dari 734.800 ton pada 2019. Tahun 2022 pun produksinya hanya sekitar 667.300 ton.
Penurunan ini juga diiringi dengan menyusutnya luas areal perkebunan kakao dari 1,56 juta hektar pada 2019 menjadi 1,39 juta hektar pada 2023.
Secara keseluruhan, meskipun permintaan global terhadap cokelat terus meningkat, produksi kakao nasional justru stagnan dan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Di tengah penurunan produksi domestik tersebut, kebutuhan bahan baku industri pengolahan tetap tinggi sehingga impor kakao melonjak.
Pada 2021, Indonesia mengimpor sekitar 133.000 ton biji kakao mentah dengan nilai ratusan juta dollar AS. Pada 2023, jumlahnya tercatat 74.750 ton.
Perbedaan angka ini menunjukkan fluktuasi tajam, sementara kebutuhan industri pengolahan sebenarnya jauh lebih besar. Kebutuhan bahan baku diperkirakan hampir 400.000 ton per tahun.
Tren ini makin jelas pada awal 2025, ketika nilai impor kakao dan olahannya melonjak 119 persen secara bulanan, dari 140 juta dollar AS pada Desember 2024 menjadi 304,4 juta dollar AS pada Januari 2025.
Baca juga: Kopi Lampung, dari Kebun ke Dunia
Sebagian besar impor berupa biji kakao mentah dari Ekuador. Lonjakan impor ini terutama ditujukan untuk memenuhi kapasitas pabrik pengolahan yang terus meningkat, khususnya dalam produksi ekspor seperti mentega kakao dan lemak kakao.
Harga kakao lokal dan impor kini memperlihatkan jurang yang semakin lebar. Data menunjukkan rata-rata harga biji kakao kering non-fermentasi dari petani sekitar Rp 70.000 per kilogram, sementara kakao fermentasi lokal sedikit lebih tinggi, yakni Rp 79.000 per kilogram.
Namun, harga kakao fermentasi impor sempat melonjak tajam hingga sekitar Rp 139.000 per kilogram pada September 2024.
Ironisnya, meski harga impor jauh lebih mahal, industri pengolahan di dalam negeri tetap lebih memilih mendatangkan bahan baku dari luar negeri.
Alasan utamanya, pasokan domestik terbatas dan mutu biji kakao fermentasi lokal masih belum konsisten.
Kondisi ini memperparah paradoks, di mana kapasitas pabrik olahan meningkat pesat, sementara produksi nasional justru menurun dan hanya mampu memenuhi sebagian kecil kebutuhan industri.
Industri beralasan bahwa impor lebih menjamin kualitas dan ketersediaan bahan baku. Fermentasi biji kakao di tingkat petani sering kali tidak dilakukan dengan benar, sehingga kualitas tidak memenuhi standar ekspor maupun kebutuhan industri dalam negeri.