Rantai pasok kakao Indonesia juga menghadapi masalah struktural serius. Perluasan lahan terhambat oleh alih fungsi ke komoditas lain, sementara sebagian besar kebun yang ada sudah berumur puluhan tahun sehingga produktivitas per pohon menurun.
Upaya peremajaan belum merata, membuat banyak kebun kehilangan potensi optimal. Akibatnya, meski permintaan industri terus meningkat, suplai biji kakao domestik cenderung stagnan, bahkan menurun.
Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik
Mayoritas kebun kakao dikelola oleh petani kecil dengan lahan terbatas. Mereka menghadapi keterbatasan modal, teknologi, dan fasilitas panen maupun pascapanen.
Kondisi ini membuat tanaman tua kurang terawat, sehingga rentan terhadap hama dan penyakit seperti penggerek buah kakao (PBK) dan VSD.
Ditambah lagi, biaya pupuk dan tenaga kerja yang terus naik semakin menekan petani. Kombinasi faktor ini mengurangi ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan, meski kapasitas pabrik terus tumbuh.
Di sisi hilir, Indonesia justru mencatat prestasi gemilang. Ekspor produk olahan pada 2022 mencapai 327.000 ton senilai lebih dari 1 miliar dollar AS, menempatkan Indonesia sebagai eksportir cocoa butter terbesar kedua dunia setelah Belanda.
Terdapat lebih dari 11 pabrik pengolahan besar dengan kapasitas total hampir 740.000 ton per tahun, belum termasuk industri kecil dan produsen cokelat bean-to-bar.
Produk olahan seperti cocoa butter dan lemak kakao menembus pasar premium global. Namun, keberhasilan hilirisasi ini juga menyingkap paradoks, industri terpaksa mengimpor biji kakao dalam jumlah besar karena pasokan lokal tidak mencukupi.
Berbagai program telah digulirkan untuk mengatasi paradoks tersebut. Pemerintah menyalurkan anggaran besar untuk replanting dan perluasan kebun.
Kementerian Pertanian telah merancang strategi peningkatan produksi melalui program hilirisasi mulai tahun ini, sementara industri nasional juga telah aktif membina petani melalui sertifikasi, transfer teknologi, dan kemitraan riset.
Kolaborasi lintas sektor ini menjadi kunci. Dengan konsistensi program, produktivitas dapat meningkat, mutu biji terjamin, dan industri pengolahan tumbuh tanpa harus bergantung berlebihan pada impor.
Jalan panjang memang masih terbentang, tetapi peluang memperkuat posisi Indonesia di rantai nilai kakao global tetap terbuka lebar.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini