Padahal, pemerintah telah menetapkan standar mutu melalui SNI 2323-2008 yang menekankan fermentasi sebagai prasyarat, namun penerapannya belum meluas karena keterbatasan dukungan teknis di tingkat petani.
Konsistensi mutu yang lemah membuat pabrik lebih percaya kepada pasokan impor, meskipun harus membayar lebih mahal.
Ditambah lagi, kebijakan fiskal yang melonggarkan PPN impor membuat bahan baku dari luar negeri semakin mudah diakses.
Akibatnya, industri cenderung lebih fokus meningkatkan kapasitas produksi berbasis impor, ketimbang menyerap hasil panen petani lokal yang sebenarnya memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik.
Baca juga: Kedaulatan dari Sebatang Cokelat
Dampak dari fenomena ini sangat dirasakan petani kecil, yang menjadi tulang punggung perkebunan kakao nasional.
Serapan kakao lokal menurun drastis, harga stagnan, dan pendapatan petani tidak kunjung membaik.
Banyak pekebun akhirnya memilih mengalihkan lahannya ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit atau karet.
Pergeseran ini semakin menggerus luas perkebunan kakao nasional, yang sudah sejak lama menghadapi tantangan produktivitas akibat tanaman tua, serangan hama, dan perubahan iklim.
Bila tren ini dibiarkan, maka Indonesia akan kehilangan salah satu komoditas unggulan yang pernah membawanya masuk ke jajaran produsen kakao terbesar dunia.
Untuk keluar dari dilema ini, perlu ada intervensi yang serius dan terarah. Pemerintah bersama pelaku industri harus memperkuat rantai pasok hulu melalui program replanting kebun tua, penyediaan benih unggul, serta pelatihan fermentasi yang tepat bagi petani.
Insentif harga bagi kakao fermentasi bermutu juga mutlak diperlukan agar petani memiliki motivasi ekonomi untuk menghasilkan biji berkualitas.
Lebih dari itu, kemitraan langsung antara pabrik dan kelompok tani perlu diperluas, sehingga petani tidak lagi berjalan sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari rantai nilai industri kakao.
Indonesia sejatinya memiliki modal besar berupa pengalaman panjang sebagai produsen kakao utama dan dukungan industri hilir yang berkembang pesat.
Jika hulu diperkuat dan mutu biji lokal terjamin, maka industri tidak perlu lagi bergantung pada impor dalam jumlah besar.
Lebih penting lagi, petani akan mendapatkan nilai tambah lebih adil, kesejahteraan meningkat, dan daya saing kakao Indonesia di pasar global kembali menguat.