
Kejayaan Barus mulai meredup pada abad ke-17, ketika jalur perdagangan dunia beralih ke pelabuhan besar yang dikuasai bangsa Eropa. Aceh, Malaka, dan Batavia menjadi pusat baru, sementara Barus perlahan tenggelam dalam ingatan sejarah.
Eksploitasi berlebihan terhadap pohon kamper juga meninggalkan luka ekologis. Data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2023) mencatat bahwa Dryobalanops aromatica kini masuk kategori critically endangered (sangat terancam punah) akibat deforestasi dan penebangan tanpa kontrol.
Kajian lapangan oleh Balai Penelitian Hutan Medan (2019) menemukan hanya puluhan pohon tua yang tersisa di hutan Barus dan sekitarnya, serta sangat sedikit regenerasi alami.
Di sisi lain, kemajuan industri kimia modern menggantikan hampir seluruh kebutuhan kapur barus alami.
Produk sintetis yang dibuat dari turunan minyak bumi seperti terpen dan naftalena kini menjadi bentuk kapur barus yang umum di pasaran, bola putih kecil yang kita kenal sebagai pengharum lemari.
Murah dan mudah diproduksi, tetapi kehilangan nilai ekologis dan sejarah yang pernah harum.
Walau terpinggirkan, kapur barus tetap menyimpan nilai kegunaan yang tak ternilai. Dalam dunia medis, ia masih menjadi bahan dasar farmasi dan pengobatan tradisional.
Dalam rumah tangga, aromanya menjaga kesegaran pakaian dan mengusir serangga. Kegunaan yang luas itu menunjukkan bahwa kapur barus adalah warisan ekologis dan intelektual yang luar biasa.
Ia bukan sekadar produk alam, tetapi juga cermin pengetahuan manusia dalam membaca manfaat hutan tropis.
Baca juga: Saatnya Perkebunan Naik Kelas: Ekspor Olahan, Bukan Sekadar Mentah
Ketika dunia kini mencari bahan alami dan ramah lingkungan, kapur barus sesungguhnya memiliki peluang besar untuk kembali diperhitungkan.
Saat ini, produksi kapur barus alami dari pohon Dryobalanops aromatica di Sumatera Utara praktis tidak lagi tercatat secara resmi.
Populasinya di alam sudah sangat menipis hingga nyaris punah, sehingga volume produksi pun sangat kecil.
Beberapa hutan kapur tua masih ditemukan di wilayah Barus dan Pakpak Bharat, namun kawasan ini lebih diarahkan untuk kepentingan konservasi ketimbang eksploitasi ekonomi.
Akibatnya, nilai ekonomi kapur barus tidak tercatat dalam statistik resmi BPS karena tidak ada aktivitas produksi komersial ataupun ekspor yang berlangsung.
Meskipun demikian, sebagian kecil masyarakat masih memanfaatkan kristal kapur barus untuk keperluan tradisional, pengobatan, atau pengharum alami. Namun, skala pemanfaatannya sangat terbatas dan tidak memiliki signifikansi ekonomi.