
SETIAP musim hujan, kecemasan atas banjir bandang dan tanah longsor kembali menghantui banyak wilayah di Indonesia.
Sungai meluap, lumpur dan puing menerjang permukiman, sementara lereng-lereng rapuh runtuh tanpa ampun.
Hujan ekstrem dan perubahan iklim kerap disalahkan. Namun, akar masalahnya jauh lebih dalam, yaitu lemahnya daya dukung lingkungan akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.
Penggantian hutan dengan beton dan kegiatan ekonomi di kawasan hulu sungai atau wilayah serapan di punggung bukit, membuat air hujan tak lagi tertahan optimal dan langsung mengalir di permukaan, memicu banjir dan longsor.
Di tengah situasi ini, kita kerap lupa bahwa alam sejatinya telah menyediakan solusi yang sederhana, murah, dan sangat efektif.
Solusi itu hadir dalam bentuk tanaman dengan sistem perakaran kuat dan tajuk rapat, pahlawan sunyi yang bekerja tanpa sorotan.
Bayangkan lereng yang ditanami aren, diselimuti rumpun serai wangi dan barisan vetiver yang mencengkeram tanah seperti pasak bumi.
Tanaman-tanaman ini berfungsi layaknya spons raksasa dan jaring pengaman alami, mereka menyerap air hujan berlebih, menyimpannya dalam tanah, lalu melepaskannya perlahan.
Baca juga: Galang Rp 10 Miliar Sehari: Efek Ferry Irwandi dan Kekuatan Pemuda
Pada saat yang sama, akar-akar mereka mengikat butiran tanah agar tak tergerus, menahan erosi, dan mencegah longsor. Inilah mekanisme perlindungan alam yang bekerja hening, tetapi dampaknya luar biasa bagi keselamatan manusia.
Yang membuat pendekatan ini istimewa, fungsi ekologis tersebut berjalan seiring dengan manfaat ekonomi dan sosial.
Aren, serai wangi, dan kopi atau kelapa dalam konsep agroforesteri dapat menjadi tanaman konservatif, yang tidak hanya menjaga lereng tetap stabil, tetapi juga memberi penghasilan nyata bagi petani.
Inilah esensi solusi berbasis alam yang berkelanjutan, menghubungkan konservasi lingkungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Dari sinilah kita belajar bahwa mencegah bencana tidak selalu harus dimulai dari beton dan tanggul, kadang cukup dengan menanam tanaman yang tepat, di tempat yang tepat.
Pohon aren adalah contoh paling nyata bagaimana alam menyediakan benteng hidup bagi lereng-lereng rawan bencana.
Tajuknya yang lebat mampu menahan hujan sebelum jatuh ke tanah, memberi waktu bagi air untuk meresap perlahan.
Dalam satu pohon dewasa, ratusan liter air dapat tertahan dan tersimpan di sekitar perakarannya.
Di hulu sungai, ratusan pohon aren bekerja bagai bendungan alami yang menekan limpasan permukaan dan meredam banjir bandang. Karena itulah aren kerap dijadikan tulang punggung rehabilitasi lahan kritis di daerah perbukitan.
Keunggulan aren makin lengkap dengan sistem perakarannya yang dalam dan menyebar luas hingga beberapa meter ke bawah tanah.
Akar-akar serabut itu mengikat butiran tanah layaknya jalinan baja, menjaga kemantapan lereng dari ancaman longsor.
Pengalaman lapangan menunjukkan, kawasan yang ditumbuhi aren sering tetap utuh saat lereng di sekitarnya runtuh.
Lapisan ijuk di batangnya pun memperlambat aliran air di sekitar pangkal pohon dan menjaga kelembaban mikro, bahkan melindungi mata air dari sedimentasi. Aren bukan sekadar pohon, melainkan penjaga tanah, air, dan keseimbangan alam.
Lebih dari itu, aren adalah sumber penghidupan desa. Nira yang disadap setiap hari diolah menjadi gula aren, pemanis alami bernilai tinggi yang pasarnya terus tumbuh.
Baca juga: Munafik Ekologis (Bagian I)
Buah mudanya menghasilkan kolang-kaling, empulur batangnya menjadi sumber sagu, dan ijuknya dimanfaatkan untuk aneka keperluan rumah tangga hingga industri.
Aren tumbuh baik di lereng terjal dan tanah marginal, menjadikannya “tabungan hidup” jangka panjang bagi petani.
Dalam sistem agroforestri, aren sering dipadukan dengan kopi atau kakao, membentuk bentang lahan yang produktif sekaligus tangguh menghadapi bencana.
Di sisi lain, tanaman lain seperti serai wangi tampil sebagai rumput sederhana yang menyimpan daya konservasi luar biasa.
Rumpunnya yang padat dan akarnya yang menyerupai anyaman halus membentuk “karpet hijau” penahan erosi di lereng-lereng miring.
Air hujan yang jatuh tertahan oleh struktur tanah yang lebih berpori, sementara partikel tanah saling terikat kuat oleh akar.
Berbagai studi dan pengalaman petani menunjukkan, limpasan air dan tanah tererosi dapat ditekan signifikan dengan kehadiran barisan serai wangi di antara tanaman utama.
Serai wangi juga menghadirkan berkah ekonomi. Daunnya disuling menjadi minyak atsiri bernilai tinggi yang diolah menjadi beragam produk, dari minyak telon hingga antiseptik alami.
Banyak petani di sekitar Danau Toba dan sentra lainnya membuktikan bahwa lahan kritis yang dulu tak produktif kini menghasilkan pendapatan rutin.
Ampas penyulingan pun dimanfaatkan kembali sebagai pakan ternak dan kompos, menciptakan sistem produksi yang nyaris tanpa limbah. Serai wangi membuktikan bahwa konservasi tidak selalu identik dengan pengorbanan ekonomi.
Selain aren dan serai wangi, alam masih menyediakan sekutu konservasi lain seperti vetiver, bambu, dan pohon-pohon lokal berakar kuat.
Vetiver dikenal sebagai “paku alam” dengan akar yang menghunjam dalam hingga beberapa meter, menguatkan lereng bukit, tanggul, dan tebing jalan.
Bambu dengan rimpun lebatnya efektif menahan erosi dan menstabilkan bantaran sungai, sekaligus memberi nilai ekonomi dari batang dan rebung.
Pohon beringin, trembesi, bendo, gayam, dan kepuh turut memainkan peran penting sebagai penjaga air dan tanah di berbagai bentang alam Indonesia.
Seluruh tanaman ini menemukan kekuatan maksimalnya ketika dirangkai dalam satu sistem agroforestri terpadu.
Baca juga: Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
Aren tumbuh menjulang di atas, kopi atau kakao berproduksi di bawahnya, sementara vetiver dan serai wangi mengunci lereng dari erosi.
Tajuk berlapis meneduhkan tanah, akar dengan kedalaman berbeda saling melengkapi menyerap air dan unsur hara.
Inilah wajah pertanian masa depan yang tidak hanya produktif, tetapi juga tangguh menghadapi banjir dan longsor.
Dengan menanam tanaman yang tepat di tempat yang tepat, kita sejatinya sedang membangun pertahanan alami bagi bumi sekaligus menumbuhkan kesejahteraan dari akarnya.
Tanaman-tanaman penyelamat alam mengajarkan kita bahwa solusi banjir dan longsor sejatinya telah tumbuh di sekitar kita.
Aren di lereng, vetiver di tanggul, bambu di tepi sungai, atau serai wangi di perbukitan bukan sekadar tanaman biasa, melainkan benteng alami yang menahan air dan mengikat tanah.
Menanam pohon di lahan kritis sesungguhnya adalah menanam harapan. Harapan agar hujan yang turun menjadi berkah, bukan bencana. Agar tanah tetap subur di tempatnya, bukan runtuh menghancurkan kehidupan.
Langkah ini mungkin tampak kecil, tetapi dampaknya menjalar jauh hingga ke hilir, menjaga mata air, mendukung pertanian, dan melindungi permukiman.
Lebih dari itu, tanaman konservasi menghadirkan paradigma bahwa menjaga alam tidak harus bertentangan dengan nilai ekonomi.
Aren, serai wangi, tanaman kopi, dan bambu dalam konsep agroforesteri membuktikan bahwa konservasi dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan.
Gula aren, minyak atsiri, hingga produk kopi dan bambu menjadi insentif nyata bagi masyarakat untuk merawat lingkungan secara berkelanjutan.
Inilah solusi berbasis alam yang menang-kemenangan, alam pulih, bencana ditekan, ekonomi rakyat bergerak.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang