
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DALAM dunia rekayasa, simulasi kerap dilakukan dengan mendorong suatu variabel ke kondisi ekstrem untuk mengamati respons sistem. Bukan untuk diwujudkan, melainkan untuk memahami batas kemampuan dan implikasi dari sistem yang diuji.
Mari kita gunakan pendekatan serupa untuk menguji klaim “Indonesia sebagai negara agraris”. Bayangkan sebuah skenario ekstrem: sekitar 75 persen daratan Indonesia, atau sekitar 140 juta hektar, dengan mengabaikan seluruh kendala biofisik dan ekologis, diasumsikan dapat direkayasa sehingga layak untuk budidaya kelapa sawit.
Dengan produktivitas 3–4 ton CPO per hektar per tahun, total produksi akan mencapai 450–550 juta ton CPO. Dengan asumsi rendemen minyak 25 persen dan harga TBS Rp3.000 per kilogram, nilai ekonominya setara Rp5.000–6.500 triliun per tahun di tingkat petani.
Angka ini terdengar fantastis. Namun ketika dibandingkan dengan nilai PDB Indonesia (atas dasar harga berlaku) tahun 2024 yang telah menembus Rp22.000 triliun, kontribusinya hanya berkisar 25–30 persen.
Tak ada yang dapat menyangkal betapa vitalnya pertanian sebagai penjaga ketahanan pangan, namun ilustrasi ini memperlihatkan bahwa bahkan dalam skenario yang paling ekstrem sekalipun, sektor pertanian primer tetap tidak mampu menjadi mesin utama yang secara signifikan menggerakkan perekonomian nasional.
Baca juga: Katanya Negara Agraris, RI Rupanya Juara Dunia Impor Gula
Sudah sejak lama narasi “Indonesia adalah negara agraris” terus digaungkan dan menjadi semacam kebanggaan kolektif. Karena kata agraris ini berarti cukup umum yaitu “mengenai/bersifat pertanian”, maka negara agraris dimaknai dalam berbagai pandangan.
Dalam berbagai buku/laporan resmi umumnya didefinisikan sebagai kebergantungan (ekonomi) suatu negara pada pertanian. Dan nampaknya ini diterjemahkan oleh benak banyak orang sebagai negara yang memiliki lahan luas dan sangat subur dimana sejak ratusan tahun lalu kemasyuran rempahnya telah mengundang pedagang-pedagang “tamak” Eropa untuk menghampiri negeri ini.
Kenyataannya tidak persis seperti itu. Persentase wilayah daratan Indonesia untuk arable land (lahan tanaman semusim) Indonesia bahkan tidak masuk sepuluh besar dunia. Persentase untuk budidaya pertanian secara keseluruhan memang cukup tinggi, tetapi banyak negara maju seperti Denmark, Prancis bahkan Belanda memiliki persentase yang lebih tinggi, dan mereka justru tidak menggantungkan masa depan ekonominya (khususnya tenaga kerjanya) pada pertanian.
Baca juga: 5 Alasan Mengapa Indonesia Disebut Negara Agraris
Walaupun mungkin berlebihan, perspektif ini bisa disebut sebagai “halusinasi” tentang citra negara agraris, yang berpotensi memicu penerapan strategi yang keliru di lapangan. Narasi agraris versi pemikiran ini bisa saja menjadi dorongan terselubung untuk mempertahankan jumlah penduduk yang bergantung langsung di sektor pertanian.
Lahan pertanian menjadi rebutan terlalu banyak orang. Sebagian besar petani bekerja di lahan yang luasnya tidak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak. Pertanian seolah hanya menjadi jaring pengaman sosial bagi mereka yang tidak mendapat lapangan pekerjaan.
Malangnya, “halusinasi” negara agraris ini merembet ke sektor non pangan, khususnya energi. Sumber daya hayati seperti sawit, tebu, singkong, dan biomassa lainnya, sering didorong berlebihan sebagai solusi energi masa depan.
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Negara Agraris?
Mari kita lanjutkan skenario ekstrem tadi. Seandainya seluruh produksi minyak sawit tadi diubah menjadi biodiesel tanpa menyisakan menjadi minyak goreng atau produk lainnya, volumenya sekitar 520-620 juta kiloliter. Sekali lagi, ini angka yang besar, namun sekaligus kecil.
Untuk menghasilkan setara energi yang besar ini, dengan kondisi penyinaran matahari di Indonesia, energi surya melalui fotovoltaik “hanya” membutuhkan 2 juta ha saja (yaitu 75 kali lebih kecil luas skenario sawit). Dan itu pun bukan lahan khusus — bisa dipasang di atap bangunan, di kawasan industri, di waduk, di lahan terdegradasi, bahkan bersama dengan lahan pertanian melalui sistem agrivoltaik.
Sejarah menunjukkan, hampir semua negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya mengalami satu proses serupa: berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian secara gradual yang diserap oleh pertumbuhan sektor industri dan jasa. Tentu saja situasi ini harus dibarengi dengan penegakan aturan konversi lahan yang ketat dan penyiapan tenaga kerja yang trampil menggunakan teknologi pertanian yang lebih mumpuni.
Penumbuhan ragam dan jumlah industri/jasa skala kecil di daerah pedesaan atau kota kecil, bisa menjadi langkah awal untuk mulusnya proses tersebut. Dengan begitu, tekanan terhadap lahan berkurang, ukuran usaha tani per orang meningkat, teknologi/mekanisasi menjadi layak secara ekonomi untuk diterapkan sehingga pendapatan petani membaik dan dengan sendirinya pertanian menjadi lebih tangguh.
Baca juga: Ironi Indonesia, Negara Agraris yang Terus-terusan Impor Beras
Lahan merupakan sumberdaya berharga yang tidak tak terbatas dan harus diapresiasi dengan segenap pengetahuan, kehati-hatian dan kebijaksanaan. Tanpa koreksi cara pandang ini, istilah “negara agraris” berisiko tereduksi menjadi nostalgia kolektif yang melengahkan, bahkan yang lebih parah lagi berpotensi memperbesar tekanan ekologis.
Kita patut bangga disebut negara agraris bila maknanya berpihak pada pertanian. Tapi bila maknanya adalah menggantungkan perekonomian dan tenaga kerja pada pertanian seperti saat ini, seharusnya kita berupaya untuk keluar dari predikat ini. Beban tenaga kerja sektor pertanian ini harus mulai diambil alih melalui penguatan kemampuan penyerapan oleh sektor non-pertanian.
Sampai kapan kita tega menggantungkan perekonomian negara pada kerja keras petani yang selama ini dibiarkan bertarung di lahan yang sempit dengan teknologi dan sistem produksi yang tertinggal? Ketahanan pangan adalah misi yang mulia sehingga sudah sepantasnya kita menempatkan pertanian sebagai sumber kesejahteraan yang layak bagi pelaku utamanya.
Baca juga: Waktunya Jujur: Petani Butuh Fakta, Bukan Ilusi Statistik
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang