PERNAHKAH Anda membayangkan bagaimana kehidupan kuliner masyarakat pada masa Kerajaan Majapahit (1293–1527 M)? Apakah mereka sudah menikmati sensasi pedas seperti yang kita rasakan saat ini?
Faktanya, pada masa itu, masyarakat Nusantara belum mengenal cabai merah atau cabai rawit yang kini menjadi bumbu utama sambal.
Mereka mengandalkan rempah lokal seperti cabai jawa (Piper retrofractum), lada hitam, jahe, dan andaliman (merica Batak) untuk memberikan rasa pedas pada masakan.
Meskipun disebut "cabai", cabai jawa sebenarnya berasal dari keluarga tanaman berbeda (Piperaceae) dan memiliki rasa pedas yang lebih hangat dibandingkan dengan cabai modern (Capsicum).
Cabai yang kita kenal sekarang (Capsicum annuum dan Capsicum frutescens) berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, khususnya Meksiko, Bolivia, dan Peru.
Baca juga: Peluang Stevia dalam Diversifikasi Industri Gula
Tanaman ini dibawa ke Eropa oleh Christopher Columbus pada 1493, kemudian menyebar ke Asia melalui jalur perdagangan Portugis dan Spanyol.
Diperkirakan, cabai masuk ke Nusantara pada abad ke-16 bersamaan dengan kolonialisasi Portugis di Maluku.
Ferdinand Magellan, penjelajah Portugis, disebut sebagai salah satu yang membawa cabai ke wilayah ini, meskipun ia tewas di Filipina sebelum mencapai Indonesia.
Awalnya, cabai hanya digunakan sebagai tanaman hias dan obat. Namun pada abad ke-18, masyarakat mulai mengadopsinya sebagai bumbu masak.
Sebelum kedatangan cabai modern, cabai jawa (juga disebut cabe jamu) menjadi sumber rasa pedas utama.
Tanaman merambat ini menghasilkan buah kecil berbentuk bulat memanjang yang dikeringkan dan dihaluskan sebagai bumbu.
Tanaman ini tumbuh subur di daerah tropis seperti Jawa Barat, Lampung, Sumatra Barat, Madura, dan Nusa Tenggara Barat.
Selain untuk masakan, cabai jawa digunakan dalam pengobatan tradisional karena kandungan piperine-nya yang bersifat antiinflamasi dan analgesik.
Misalnya, ramuan ini dipercaya dapat meredakan sakit perut, masuk angin, atau meningkatkan stamina.
Cabai jawa memiliki potensi besar sebagai komoditas unggulan Indonesia yang dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Dengan strategi yang tepat, termasuk peningkatan akses modal, penguatan infrastruktur, diversifikasi produk, dan penguatan pasar, komoditas ini dapat menguntungkan bagi petani dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca juga: Mengenal Gula Bit: Inovasi Pemanis
Komoditas ini adalah salah satu rempah asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman ini dimanfaatkan dalam berbagai industri, terutama obat tradisional, farmasi, serta sebagai bumbu masakan dan bahan campuran minuman herbal.
Sensasi kepedasan cabai jawa yang lebih rendah dibanding cabai rawit, tetapi memberikan rasa hangat yang khas.
Penggunaannya lebih dominan dalam masakan berkuah seperti gulai atau sebagai campuran jamu.
Sementara itu, cabai modern (Capsicum) dengan kandungan capsaicin-nya memberikan sensasi pedas menyengat dan lebih mudah diolah menjadi sambal segar.
Pergeseran selera ini terjadi seiring meluasnya budidaya cabai impor yang dibawa Portugis, terutama setelah abad ke-18.
Meski kalah populer dari cabai modern, cabai jawa masih dibudidayakan secara terbatas di Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera.
Produksinya sering dikaitkan dengan industri jamu dan farmasi tradisional. Misalnya, ekstrak cabai jawa digunakan dalam obat herbal untuk meningkatkan nafsu makan atau mengatasi rematik.
Dari segi ekonomi, harga cabai jawa kering bisa mencapai Rp 150.000– Rp 200.000 per kilogram, jauh lebih tinggi daripada cabai biasa.
Potensi pengembangannya ke depan terletak pada nilai tambah sebagai produk organik, suplemen kesehatan, atau bahan kosmetik alami. Pemanfaatan teknologi ekstraksi dan pemasaran global bisa meningkatkan daya saingnya.
Tanaman ini kaya akan senyawa bioaktif seperti piperin, polifenol, minyak atsiri, saponin, dan asam palmitat, yang memberikan berbagai manfaat kesehatan.
Kandungan piperin dan polifenol berfungsi sebagai antioksidan, melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas.
Minyak atsiri yang terkandung memiliki sifat antibakteri, membantu melawan infeksi. Saponin berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sedangkan asam palmitat berkontribusi pada metabolisme energi tubuh.
Selain itu, cabai jawa memiliki sifat antiinflamasi yang dapat membantu mengurangi peradangan dalam tubuh.
Kandungan capsaicin dalam cabai jawa juga dapat merangsang produksi enzim pencernaan, sehingga membantu proses pencernaan makanan.
Baca juga: Bahan Bakar Nabati Alternatif Selain Sawit
Alkaloid dalam cabai jawa, seperti piperin, memiliki fungsi sebagai antiinflamasi dan antipiretik yang mampu menurunkan demam. Kandungan piperin dalam cabai jawa dapat merangsang nafsu makan dan meningkatkan metabolisme tubuh.
Cabai jawa juga dapat membantu meningkatkan sirkulasi darah, sehingga mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan kesehatan jantung.
Dengan berbagai kandungan gizi dan manfaat kesehatan tersebut, cabai jawa menjadi rempah yang berharga dalam pengobatan tradisional dan dapat menjadi tambahan yang bermanfaat dalam diet sehari-hari.
Salah satu peluang utama dalam pengembangan cabai jawa (Piper retrofractum) adalah permintaan pasar yang stabil, terutama dari industri jamu dan farmasi.
Komoditas ini juga diekspor ke berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, India, China, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Jepang, Jerman, Malaysia, Vietnam, Inggris, dan Turkiye.
Data dari Karantina Pertanian Lampung menunjukkan peningkatan signifikan dalam volume ekspor cabai jamu, dari 48,3 ton pada 2019 menjadi 405,4 ton dengan nilai Rp 19,9 miliar pada 2020, meskipun mengalami penurunan menjadi 50,2 ton pada 2021.
Selain itu, harga cabai jawa kering relatif stabil dibandingkan dengan cabai rawit yang sering mengalami fluktuasi, berkisar antara Rp 52.000 hingga Rp 80.000 per kilogram.
Stabilitas harga ini memberikan keuntungan bagi petani karena mereka dapat lebih mudah memperkirakan pendapatan dan mengatur biaya produksi dengan lebih baik.
Dari segi agroklimat, cabai jawa dapat tumbuh dengan baik di berbagai wilayah Indonesia, terutama di daerah seperti Madura, Jawa Tengah, dan Lampung yang memiliki kondisi tanah dan iklim yang mendukung.
Baca juga: Teh Hijau: Rahasia Alami Hidup Sehat
Keunggulan ini membuat Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen utama cabai jawa di dunia.
Namun, saat ini Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar sepertiga dari kebutuhan global yang mencapai sekitar 6 juta ton per tahun. Dengan peningkatan produksi, peluang ekspor dapat lebih dioptimalkan untuk mengisi kekosongan pasokan dunia.
Pengembangan rempah ini di Indonesia menghadapi beberapa tantangan signifikan. Salah satunya adalah minim penggunaan teknologi, sehingga produktivitasnya belum optimal.
Selain itu, ketersediaan air dan bibit unggul juga menjadi kendala, terutama di daerah dengan curah hujan rendah dan keterbatasan sumber air.
Keterbatasan bibit unggul bersertifikat menghambat peningkatan produksi, karena petani sering menggunakan bibit dari hasil panen sebelumnya yang kualitasnya tidak selalu terjamin.
Kurangnya inovasi dalam pengolahan dan diversifikasi produk juga menjadi hambatan dalam meningkatkan nilai tambah cabai jawa.
Saat ini, sebagian besar hasil panen masih dijual dalam bentuk mentah tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut.
Padahal, dengan inovasi produk seperti ekstrak herbal, minyak atsiri, atau minuman kesehatan berbasis cabai jawa, nilai jualnya dapat meningkat secara signifikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Ads may you like
Advertisement