PAGI baru saja merekah di desa persawahan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Kabut tipis mengambang di atas hamparan padi yang menguning, sementara suara gemerisik daun diselingi tawa para petani yang bersiap panen raya.
Setahun lalu, lahan ini sempat retak-retak kekeringan akibat terjangan El Niño berkepanjangan. Namun kini, bulir padi menguning lebat, pertanda kebahagiaan akan menjelang.
Di pematang sawah, Pak Ranto, seorang petani senior tersenyum sambil mengucap syukur, “Alhamdulillah, panen kali ini melimpah.”
Senyum itu bukan sekadar ungkapan rasa syukur pribadi, melainkan simbol optimisme baru dari sektor pertanian kita.
Kisah di atas bukan semata adegan romantis pedesaan, melainkan cermin fenomena nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian Indonesia mencatat lonjakan pertumbuhan luar biasa pada triwulan I 2025.
Setelah tahun sebelumnya terpuruk akibat cuaca ekstrem, kini pertanian tumbuh 10,52 persen (year-on-year), laju tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Tepung Lokal dan Ketahanan Pangan: Menakar Ulang Dominasi Impor
Bahkan, sektor ini menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I 2025, dengan andil 1,11 persen dari total pertumbuhan 4,87 persen.
Pencapaian ini terutama ditopang oleh subsektor tanaman pangan yang melejit 42,26 persen, berkat panen raya padi dan jagung yang merata di berbagai daerah.
Tak dapat dimungkiri, alam sedikit bersahabat kali ini. Setelah fenomena El Niño yang berlangsung Juni 2023 hingga April 2024 mereda, hujan kembali turun teratur.
Ladang-ladang yang sebelumnya mengering kini subur kembali. Produksi padi nasional triwulan I 2025 pun melonjak 51,45 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, sementara produksi jagung naik 39,02 persen.
Ini setara tambahan jutaan ton bahan pangan pokok. BPS mencatat produksi gabah kering giling (GKG) Januari–Maret 2025, mencapai hampir 15 juta ton, jauh melampaui sekitar 9,9 juta ton pada triwulan I 2024.
Produksi jagung pipilan kering menembus 4,7 juta ton, melejit dari capaian tahun sebelumnya sekitar 3,8 juta ton.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik, namun mewakili jutaan butir beras dan jagung yang dihasilkan lewat keringat para petani, tulang punggung ketahanan pangan bangsa.
Seiring lumbung-lumbung pangan yang kembali penuh, spirit baru menjalari pedesaan Nusantara. Bagi bangsa Indonesia, kemandirian pangan sejatinya adalah wujud nasionalisme di era modern.
“Masalah pangan adalah masalah kedaulatan. Masalah pangan adalah masalah kemerdekaan. Masalah pangan adalah masalah survival kita sebagai bangsa. Jika kita ingin menjadi negara maju, pangan harus aman dulu,” tegas Presiden Prabowo Subianto awal tahun ini.
Pernyataan tersebut menggema kuat di hati para petani dan pemangku kepentingan pertanian.
Kebijakan pemerintah yang pro-petani turut berperan besar dalam capaian ini. Langkah berani menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen menjadi Rp 6.500 per kilogram memberikan angin segar bagi petani.
Dengan jaminan harga gabah yang layak, petani kembali bergairah menanam padi.
“Petani adalah produsen pangan. Hidup mereka harus baik, kesejahteraan mereka harus meningkat,” ujar Presiden Prabowo menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani.
Kebijakan ini diwujudkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2025 yang memastikan Bulog dan penggilingan padi menyerap gabah petani tanpa mempersoalkan kualitas (skema any quality) dengan harga sesuai HPP.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Dampaknya terasa, pada panen raya Maret-April 2025, Bulog sigap menyerap gabah/beras dalam negeri sehingga stok beras pemerintah melejit tinggi.
Selain kebijakan harga, ketersediaan pupuk subsidi yang memadai juga menjadi faktor krusial. Pemerintah berupaya memastikan distribusi pupuk bersubsidi lebih tepat sasaran dan tepat waktu.
Upaya memangkas rantai birokrasi penyaluran pupuk, yang dulu sering dikeluhkan petani, kini mulai membuahkan hasil. Kini petani di pelosok desa lebih mudah mendapatkan pupuk ketika musim tanam dimulai.
Alhasil, kelangkaan pupuk yang sempat menghantui musim tanam tahun lalu dapat dihindari.
Upaya peningkatan produksi juga ditopang perbaikan infrastruktur pertanian. Pembangunan embung-embung desa dan rehabilitasi jaringan irigasi di sentra pangan meningkatkan ketahanan petani dalam menghadapi kemarau.
Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, sejumlah embung baru kini menyediakan air bagi lahan tadah hujan, memungkinkan petani panen lebih dari sekali setahun.
Demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, percepatan pembangunan saluran irigasi serta rampungnya bendungan-bendungan baru telah mengairi ribuan hektare sawah yang dulunya rawan kekeringan. Petani kini tak lagi sepenuhnya bergantung pada curah hujan yang kian sulit diprediksi.
Kecukupan pangan dalam negeri yang kian membaik bahkan membuka peluang ke pasar dunia.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Indonesia mulai merencanakan ekspor beras karena surplus produksi. Pemerintah telah mengkaji rencana mengekspor sekitar 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia.
Meskipun realisasinya masih tahap pembahasan, sinyal ini menegaskan kepercayaan diri baru, di mana Indonesia tak lagi semata fokus memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi siap menjadi pemasok pangan di tingkat regional.
Selain beras, ekspor sejumlah komoditas unggulan seperti buah tropis, kopi dan rempah-rempah juga meningkat seiring perbaikan kualitas dan volume produksi.
Petani lokal bisa bangga karena produk desanya makin diminati di mancanegara, menyumbang devisa dan mengharumkan nama Indonesia. Tak ayal, seluruh capaian di atas membuat keyakinan nasional meningkat.
“Dengan waktu yang singkat kita buktikan. Kita sudah ke arah swasembada pangan. Di luar dugaan kita, produksi beras dan jagung kita tertinggi sepanjang sejarah RI,” ujar Presiden Prabowo bangga.
Di balik euforia kebangkitan ini, terselip pekerjaan rumah jangka panjang. Perubahan iklim tetap menjadi ancaman nyata bagi pertanian.
Cuaca normal yang membantu lonjakan produksi tahun ini bisa berbalik menjadi kemarau panjang atau banjir bandang di masa mendatang.
Karena itu, keberlanjutan produksi pangan harus dijaga dengan adaptasi dan mitigasi. Pengembangan varietas unggul yang tahan cekaman iklim, sistem peringatan dini cuaca, serta perluasan infrastruktur irigasi perlu dipercepat.
Baca juga: Mengurai Keruwetan Tata Niaga Kelapa
Diversifikasi pangan juga kian mendesak: kita perlu menggalakkan produksi dan konsumsi sumber karbohidrat alternatif (seperti sagu, singkong, dan sorgum) untuk mengurangi beban berlebihan pada beras.
Regenerasi pelaku sektor ini juga mendesak mengingat usia rata-rata petani yang kian menua. Harapan muncul seiring hadirnya petani-petani milenial yang menerapkan smart farming, mekanisasi dan inovasi digital di lapangan.
Dukungan berupa pelatihan dan akses permodalan bagi generasi muda tersebut perlu ditingkatkan agar estafet pertanian terjaga.
Namun demikian, optimisme jelas menyala. Tepat di bulan peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini, keberhasilan sektor pertanian memberi makna baru pada semangat kebangkitan itu sendiri.
Dulu, Kebangkitan Nasional 1908 ditandai lahirnya kesadaran kolektif untuk melawan ketertindasan.
Kini, kebangkitan versi abad ke-21 terpancar dari lumbung-lumbung padi yang penuh, dari petani yang kian sejahtera, dan dari tekad bangsa mewujudkan kemandirian pangan. Kebangkitan petani adalah kebangkitan Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.