HARI Teh Internasional yang diperingati setiap 21 Mei, merupakan momen reflektif untuk menyadari betapa pentingnya teh bagi kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi jutaan orang di dunia.
Sejak ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019, peringatan ini tidak sekadar seremoni global, melainkan bentuk penghormatan terhadap kontribusi petani teh kecil dan pekerja di rantai pasok teh, serta panggilan aksi untuk menjadikan industri teh berkelanjutan dan adil.
Teh adalah minuman kedua paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air putih. Lebih dari 5 miliar cangkir teh diminum setiap hari di berbagai belahan dunia.
Dari ritual upacara teh Kaisar Tiongkok kuno hingga teh poci di Tegal, teh telah menjadi bagian integral budaya manusia lintas zaman dan peradaban.
Namun, di balik kenikmatan secangkir teh, ada kisah panjang kerja keras petani dan tantangan industri global yang semakin kompleks.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Hari Teh Internasional tahun ini menjadi panggilan penting bagi Indonesia untuk kembali menengok potensi dan peran strategisnya dalam industri teh dunia.
Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai negara penghasil teh sejak masa kolonial. Perkebunan teh pertama didirikan di Jawa Barat pada awal abad ke-19 dan kemudian berkembang pesat ke berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Teh menjadi komoditas ekspor andalan dan menyumbang pendapatan besar bagi negara.
Hingga kini, Indonesia masih berada di posisi tujuh besar produsen teh dunia dengan produksi sekitar 134.000 ton per tahun.
Sekitar 60 persen dari total produksi nasional dihasilkan oleh petani kecil yang mengelola kebun-kebun rakyat.
Sentra utama produksi teh Indonesia berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, yang tidak hanya menyuplai pasar domestik, tetapi juga mengekspor ke Malaysia, Rusia, dan negara-negara Timur Tengah.
Sayangnya, kontribusi teh terhadap perekonomian nasional terus menyusut. Luas areal teh Indonesia menurun dari 150.000 hektar pada 2000 menjadi hanya sekitar 106.000 hektar pada 2023.
Produksi stagnan, produktivitas rendah, dan harga jual di tingkat petani jauh dari memadai. Krisis regenerasi petani memperburuk kondisi. Banyak generasi muda enggan terlibat karena prospek keuntungan yang tak menentu.
Industri teh Indonesia menghadapi sejumlah tantangan serius. Sebagian besar tanaman teh berusia tua dengan produktivitas di bawah optimal.
Sekitar 65 persen tanaman berumur lebih dari 50 tahun. Selain itu, krisis tenaga kerja di perkebunan semakin nyata.