INDONESIA telah dikenal sejak berabad-abad silam sebagai tanah kelahiran cengkeh (Syzygium aromaticum), rempah unggul yang bukan hanya melezatkan masakan, tetapi juga mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.
Dari Maluku, aroma cengkeh pernah mengguncang sejarah: mendorong pelayaran lintas samudra, memicu perjumpaan peradaban, dan menjadi alasan utama bangsa-bangsa besar datang menjelajahi Nusantara. Cengkeh bukan sekadar komoditas dagang, namun juga saksi awal globalisasi Nusantara, penanda kejayaan rempah-rempah, dan hingga kini menjadi sandaran hidup bagi jutaan petani di berbagai pelosok negeri.
Namun sejarah yang gemilang itu tidak serta-merta menjamin masa depan yang cemerlang. Tanpa perencanaan yang matang dan langkah-langkah strategis yang berani, potensi cengkeh akan perlahan memudar, tertinggal di antara arus perubahan dan ketidakpastian pasar. Jika dibiarkan berjalan tanpa arah, cengkeh berisiko tinggal sebagai kenangan harum masa lalu, alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi masa depan.
Padahal, cengkeh menyimpan peluang besar untuk diolah menjadi produk bernilai tinggi, dari bahan utama industri rokok kretek yang menyumbang triliunan rupiah dalam bentuk cukai, hingga sumber minyak atsiri, farmasi, dan kosmetik yang sangat dicari di pasar global.
Agar potensi itu tumbuh, Indonesia perlu menata ulang industri cengkeh dengan visi jangka panjang, investasi pada riset dan teknologi, serta kemitraan yang kokoh antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani. Kita tak bisa hanya bergantung pada pasar untuk menentukan nasib komoditas strategis ini.
Baca juga: Pohon Cengkeh Banyak Mati Terserang Penyakit, Petani di Madiun Harapkan Bantuan Bibit
Secara teori, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan cengkeh. Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) komoditas ini tercatat lebih dari satu, menandakan bahwa ekspor cengkeh Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional.
Dari sisi produksi, Indonesia masih menjadi produsen terbesar dunia, dengan estimasi produksi sekitar 140 ribu ton pada 2023, mewakili lebih dari 70 persen produksi global. Yang menarik, sekitar 99 persen lahan cengkeh dikelola oleh petani rakyat. Ini membuktikan bahwa komoditas ini sangat merakyat dan sangat penting bagi ekonomi daerah.
Namun, kenyataan tidak selalu sejalan dengan potensi. Lebih dari 90 persen produksi cengkeh Indonesia diserap oleh industri rokok kretek dalam negeri. Akibatnya, volume ekspor justru rendah. Bahkan pada periode Januari hingga Oktober 2022, Indonesia mengimpor cengkeh lebih banyak daripada mengekspor, demi memenuhi kebutuhan industri kretek.
Ketergantungan ini menciptakan struktur yang rapuh, ketika konsumsi domestik terganggu, dampaknya bisa langsung terasa hingga ke kebun petani. Lebih dari 1,5 juta petani menggantungkan hidup pada cengkeh. Sentra produksi seperti Maluku, Sulawesi, dan Jawa bagian timur sangat bergantung pada stabilitas harga dan permintaan cengkeh.
Selain menjadi bahan baku utama industri rokok kretek yang menyumbang lebih dari Rp100 triliun dalam bentuk cukai setiap tahunnya, cengkeh juga digunakan dalam industri minyak atsiri, farmasi, kosmetik, dan makanan-minuman.
Namun ada bahaya besar ketika satu komoditas terlalu bergantung pada satu industri. Sekitar 95 hingga 97 persen cengkeh Indonesia diserap oleh sektor rokok. Ketika industri ini terguncang, kenaikan cukai, atau pergeseran selera pasar, dampaknya segera terasa di lapangan. Petani cengkeh menjadi korban pertama dari ketidakpastian pasar yang mereka sendiri tidak bisa kendalikan.
Ditambah lagi, banyak tanaman cengkeh sudah tua. Produktivitasnya menurun dari 441 kilogram per hektare pada 2015 menjadi hanya 416 kilogram pada 2020. Di saat kebutuhan meningkat, kemampuan produksi justru menurun.
Baca juga: Salah Satu Rempah Indonesia, Apakah Cengkeh Bisa Dimakan?
Di sisi lain, peluang untuk meningkatkan nilai tambah sebenarnya terbuka sangat lebar. Selama ini, sebagian besar cengkeh dijual dalam bentuk bunga kering, padahal daun dan batangnya pun menyimpan potensi besar sebagai bahan dasar minyak atsiri, ekstrak, dan berbagai produk turunan.
Dunia kini mulai kembali ke bahan alami. Produk herbal, kosmetik organik, dan aromaterapi menjadi tren pasar global. Sayangnya, kita belum cukup memanfaatkan momentum ini. Alih-alih mengekspor produk jadi bernilai tinggi, Indonesia masih terjebak dalam ekspor bahan mentah. Produksi yang stagnan, harga yang fluktuatif, kualitas yang tidak merata, dan minimnya diversifikasi produk menjadi tantangan nyata.
Musim kemarau panjang, curah hujan ekstrem, dan serangan organisme pengganggu tumbuhan bisa membuat panen gagal atau tidak optimal. Mutu cengkeh pun masih sering bervariasi karena praktik pascapanen yang belum seragam. Di tengah semua itu, negara lain seperti Madagaskar dan Tanzania terus meningkatkan ekspor mereka dengan mutu yang semakin baik.