
Optimisme pengembangan kelapa juga bersumber dari kinerja ekspornya yang terus meningkat. Tahun 2024, nilai ekspor kelapa Indonesia mencapai 1,64 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar Rp 26 triliun), naik cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Produk yang diekspor bukan hanya kelapa butir, tetapi juga minyak kelapa, kopra, kelapa parut kering, bungkil, arang tempurung, dan serat sabut.
Neraca perdagangan kelapa bahkan mencatat surplus 1,51 miliar dolar AS (setara Rp 24 triliun), capaian penting di tengah fluktuasi harga komoditas global.
Negara tujuan utama ekspor kelapa Indonesia adalah China (25,5 persen atau sekitar 591.000 ton), diikuti Malaysia, Thailand, Belanda, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Pasar global menunjukkan tren positif karena meningkatnya kesadaran terhadap produk alami dan berkelanjutan. Dalam konteks itu, produk turunan kelapa seperti virgin coconut oil (VCO), air kelapa kemasan, dan briket arang tempurung memiliki prospek cerah.
Baca juga: Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Namun, agar daya saing ekspor meningkat, Indonesia tidak boleh berhenti pada ekspor bahan mentah. Hilirisasi harus menjadi arah pembangunan industri kelapa ke depan.
Pengolahan hasil samping seperti serat sabut untuk coir board, tempurung untuk arang aktif, hingga air kelapa untuk minuman fungsional, perlu dikembangkan di sentra produksi.
Penguatan industri berbasis masyarakat dan koperasi dapat memperluas rantai nilai, sehingga petani tidak hanya menikmati harga jual buah, tetapi juga nilai tambah dari produk olahan.
Kementerian Pertanian telah menyiapkan arah kebijakan pengembangan kelapa 2025 dengan tiga fokus utama, yaitu peremajaan tanaman tua, intensifikasi dan diversifikasi budidaya, serta penguatan industri hilir.
Pembangunan kawasan industri kelapa terpadu di daerah seperti Sulawesi Utara, Riau, dan Maluku merupakan langkah strategis untuk memperpendek rantai pasok.
Selain itu, pola kemitraan inti-plasma antara petani dan perusahaan juga perlu diperluas agar transfer teknologi dan akses pasar dapat berjalan efektif.
Ketersediaan bahan baku untuk konsumsi domestik pun tetap terjamin. Tahun 2025, pasokan kelapa dalam negeri diproyeksikan mencapai 437.000 ton, dan akan meningkat menjadi 522.000 ton pada 2028.
Dengan demikian, Indonesia masih memiliki surplus produksi untuk menopang ekspor dan kebutuhan industri nasional.
Bahkan di pasar dalam negeri, konsumsi minyak kelapa murni meningkat pesat karena tren gaya hidup sehat. Ini menunjukkan bahwa pengembangan kelapa bukan hanya soal ekspor, tetapi juga bagian dari strategi kemandirian pangan nasional.
Kelapa memiliki karakter khas yang menjadikannya relevan dengan arah pembangunan masa depan, ia ramah lingkungan, tahan terhadap kondisi marginal, dan berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam konteks ekonomi hijau, kelapa adalah komoditas masa depan.