
Dunia kini bergerak ke arah konsumsi produk alami, dan Indonesia punya semua prasyarat untuk memimpin pasar itu.
Pasar eco-products berbasis kelapa tumbuh pesat, dari minyak kelapa murni, air kelapa organik, hingga serat sabut untuk industri ramah lingkungan.
Baca juga: Menjaga Andaliman, Rempah Wangi yang Tak Tergantikan
Untuk mewujudkan potensi itu, transformasi menyeluruh dibutuhkan. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyinergikan kebijakan agar pengembangan kelapa tidak berjalan parsial. Swasta dan BUMN perkebunan harus menjadi motor investasi hilir.
Lembaga riset dan universitas perlu memperkuat inovasi varietas unggul dan mekanisasi panen. Sementara lembaga keuangan dapat mengembangkan skema green financing atau Kredit Usaha Rakyat hijau yang mendorong investasi ramah lingkungan di sektor kelapa.
Di sisi lain, regenerasi petani harus menjadi agenda strategis. Banyak generasi muda desa yang meninggalkan sektor pertanian karena dianggap tidak menjanjikan.
Padahal, dengan pendekatan agropreneurship, kelapa bisa menjadi bisnis masa depan yang menggabungkan teknologi, inovasi, dan keberlanjutan.
Produksi kelapa kini dapat terhubung langsung ke pasar melalui platform digital, memungkinkan petani menjual produknya tanpa perantara panjang.
Berdasarkan proyeksi pemerintah, Indonesia akan terus mengalami surplus kelapa hingga 2028, dengan rata-rata ekspor bersih mencapai 2,4 juta ton setara kopra per tahun.
Data ini memberi keyakinan bahwa jika potensi tersebut dikelola secara berkelanjutan, kelapa akan kembali menjadi penopang utama ekspor perkebunan Indonesia.
Lebih dari sekadar angka ekonomi, kelapa adalah representasi kearifan lokal yang mampu bertahan lintas generasi, yang tumbuh di tengah masyarakat, dan kini bersiap menatap masa depan industri global yang hijau dan inklusif.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang