
BEBERAPA waktu lalu, publik dikejutkan oleh kerusakan ratusan hektare kebun teh di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ribuan batang teh di areal Perkebunan Malabar milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) ditebang secara ilegal, diduga untuk alih fungsi menjadi lahan sayuran.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengecam keras tindakan ini karena berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem pegunungan. Hilangnya tutupan tanaman teh mengurangi kemampuan lahan menyerap air, meningkatkan risiko erosi, dan memicu banjir bandang di daerah hilir.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa perkebunan teh bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga memiliki nilai ekologis dan sosial yang penting bagi masyarakat sekitar. Kebun teh telah lama menjadi benteng ekologis di dataran tinggi Indonesia. Terhampar di lereng-lereng curam dengan pola tanam berjenjang, kebun teh menahan laju erosi dan menjaga kestabilan tanah.
Tajuk daun teh yang rimbun meredam hantaman air hujan, sementara akarnya yang dalam mencengkeram tanah dengan kuat. Lapisan serasah daun turut memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan daya serap air. Tanaman teh juga menghadirkan tutupan hijau yang berkelanjutan, berbeda dengan komoditas sayuran musiman yang kerap membuka lahan dan memperparah degradasi.
Menyadari hal itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai mengembalikan 200 hektare lahan sayuran di lereng-lereng curam di kawasan Puncak dan Ciater menjadi kebun teh. Langkah ini menunjukkan bahwa solusi paling efektif untuk melindungi lanskap pegunungan adalah dengan mengembalikan “mantel hijau” berupa tanaman teh. Lebih dari sekadar fungsi konservasi, kebun teh juga menyumbang jasa ekosistem yang menyejukkan iklim mikro dan menghasilkan udara segar.
Umumnya tumbuh pada ketinggian 800–1.500 meter, kebun teh menciptakan lanskap yang dingin, teduh, dan bersih, seperti yang dinikmati wisatawan di kawasan Puncak, Bogor. Di balik keindahannya, kebun teh juga menyerap karbon dioksida dan memproduksi oksigen setiap hari. Kanopi tanaman yang lebat dan kehadiran pohon pelindung turut menurunkan suhu udara lokal.
Jika kebun teh terus tergantikan oleh lahan gundul atau tanaman semusim tanpa perencanaan, maka kita bukan hanya kehilangan potensi ekonomi, tetapi juga kehilangan penyangga ekologi penting yang menjaga kenyamanan dan kelestarian lingkungan.
Baca juga: Walhi: Alih Fungsi Kebun Teh Pangalengan Berisiko Picu Banjir Bandang, HGU PTPN Perlu Diaudit
Kondisi kebun teh di salah blok perkebunan teh di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/12/2025)
Manfaat perkebunan teh tidak hanya terletak pada peran ekologisnya, tetapi juga sebagai tulang punggung ekonomi di banyak daerah. Sejak masa kolonial, teh dari dataran tinggi Priangan telah menjadi komoditas unggulan yang menembus pasar global, mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu eksportir teh utama dunia.
Saat ini, Indonesia masih bertahan di posisi tujuh besar produsen teh global dengan produksi sekitar 134 ribu ton per tahun. Pada tahun 2020, volume ekspor teh nasional mencapai lebih dari 45 ribu ton, dengan tujuan utama Rusia, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Teh bukan hanya sumber devisa penting, tetapi juga pemenuh kebutuhan konsumsi domestik. Dengan statusnya sebagai minuman paling banyak dikonsumsi kedua di dunia setelah air putih, keberlanjutan industri teh memiliki makna strategis bagi ketahanan ekonomi Indonesia.
Peran ekonomi teh sangat terasa di tingkat regional, khususnya di sentra-sentra perkebunan tradisional. Jawa Barat merupakan jantung produksi teh nasional, menyumbang sekitar 67 persen dari total output. Kebun-kebun teh tersebar di kawasan Bandung Selatan (termasuk Pangalengan), Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Subang, daerah-daerah yang perekonomiannya bergantung pada budidaya teh.
Ribuan petani dan buruh kebun hidup dari teh, baik sebagai pemetik, pengangkut, pengolah, maupun tenaga administrasi. Karena sebagian besar proses budidaya masih dilakukan secara manual, industri ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Di Pangalengan, contohnya, ribuan kepala keluarga telah hidup turun-temurun dari kebun teh Malabar. Pendapatan rutin dari sektor ini berputar dalam ekonomi lokal: dibelanjakan di pasar desa, membiayai pendidikan anak, dan menghidupi usaha kecil yang tumbuh di sekitar perkebunan.
Lebih dari itu, kebun teh kini dikembangkan secara multifungsi untuk memperkuat nilai ekonomi. Banyak perkebunan yang membuka area mereka sebagai destinasi agrowisata, menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.
Perkebunan Malabar di Pangalengan dan Rancabali di Ciwidey menjadi contoh pengelolaan yang cerdas yang menawarkan tur petik teh, edukasi proses pengolahan, serta kunjungan ke rumah-rumah bersejarah peninggalan tokoh perkebunan.
Aktivitas wisata ini menciptakan sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat lokal, mulai dari jasa pemandu, warung makan, hingga penjualan oleh-oleh teh kemasan. Kehadiran wisatawan membawa ekonomi baru ke desa-desa, sekaligus memperkenalkan kekayaan alam dan budaya teh kepada publik yang lebih luas.
Tak hanya itu, beberapa kebun teh juga menjalin pola kemitraan dengan masyarakat untuk menanam komoditas sela di lahan tak produktif, seperti palawija atau sayuran dengan pengaturan konservatif agar tidak merusak tanaman utama. Pola ini memungkinkan masyarakat memperoleh tambahan penghasilan tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Dengan demikian, perkebunan teh tampil sebagai ekosistem ekonomi yang inklusif: menyerap tenaga kerja, mendukung pertanian terpadu, membuka ruang wisata, dan menjaga sirkulasi uang di tingkat desa.
Dalam dunia yang makin menuntut model pembangunan berkelanjutan, kebun teh adalah contoh nyata bagaimana satu komoditas dapat menjalin harmoni antara alam dan kesejahteraan manusia.
Baca juga: Dedi Mulyadi Desak Polisi Tangkap Perusak Kebun Teh Pangalengan: Ada Orang Punya Duit...
Selain kontribusinya terhadap lingkungan dan ekonomi, kebun teh juga memiliki nilai sosial dan budaya yang tak ternilai. Di banyak wilayah, kebun teh bukan sekadar lahan produksi, melainkan bagian dari identitas komunitas. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung pekerja kebun, tempat tradisi gotong royong, arisan tani, hingga upacara sederhana mewarnai kehidupan sehari-hari.
Teh menjadi bagian dari kebiasaan dan simbol kebersamaan, seperti tradisi “nge-teh” sore hari yang akrab di masyarakat Jawa Barat. Dalam cakupan nasional, teh melahirkan budaya khas seperti teh poci di Tegal atau kegiatan “tea walk” di kebun teh yang ramai diminati kalangan urban. Tradisi ini memperlihatkan bahwa teh bukan hanya komoditas, melainkan juga pengikat sosial dan warisan budaya agraris yang mengakar.
Lebih jauh, kebun teh juga berperan sebagai ruang edukasi dan peningkatan kualitas hidup. Berbagai program kunjungan sekolah dan wisata edukatif memperkenalkan praktik pertanian berkelanjutan, konservasi tanah, dan pentingnya menjaga lingkungan kepada generasi muda.
Lanskap hijau yang teduh menghadirkan udara segar, suhu sejuk, dan ruang terbuka yang menyehatkan. Di tengah tekanan urbanisasi dan krisis lingkungan, masyarakat sekitar kebun teh menikmati kualitas hidup yang lebih baik, lebih sehat secara fisik dan mental.
Dalam konteks ini, perkebunan teh berfungsi ganda, yaitu sebagai benteng ekologis sekaligus lingkungan hidup yang mendukung kesejahteraan komunitas secara menyeluruh. Pemerintah, perusahaan, dan warga harus bersinergi menjaga kebun teh sebagai aset strategis bangsa. Melestarikan kebun teh bukan semata urusan agraria, melainkan ikhtiar menyelamatkan ekosistem, ekonomi lokal, dan warisan sosial yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang.
Baca juga: Dedi Mulyadi Tegur PTPN, Kerusakan Kebun Teh Akibat Kebijakan Bisnis Sewa Lahan
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang