Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Indonesia memproduksi sekitar 156.000 ton kacang mete gelondongan per tahun.
Sebagian besar mete diekspor dalam bentuk gelondongan ke negara-negara seperti India dan Vietnam, yang merupakan produsen utama kacang mete di pasar global.
Nilai ekspor mete Indonesia sangat fluktuatif, sementara pada 2023 tercatat sebesar 51,6 juta dollar AS (sekitar Rp 844 Millliar) menjadikan kacang mete sebagai salah satu penyumbang devisa negara dari sektor perkebunan.
Sayangnya, ekspor dalam bentuk mentah mengurangi potensi nilai tambah hingga mencapai Rp 2,9 triliun per tahun, yang dapat diperoleh jika melalui pengolahan menjadi produk bernilai tinggi.
Produk turunan kacang mete sangat beragam dan memiliki nilai ekonomi tinggi, menjadikannya komoditas potensial untuk dikembangkan lebih lanjut.
Salah satu produk utama adalah kacang mete olahan yang hadir dalam berbagai varian, seperti roasted, salted, dan honey-glazed cashews, yang sangat diminati, baik di pasar lokal maupun internasional.
Minyak mete juga merupakan produk bernilai tambah yang digunakan dalam industri kosmetik dan makanan, menambah diversifikasi penggunaan mete.
Di sektor pangan, kacang mete diolah menjadi berbagai produk seperti granola, camilan sehat, dan makanan siap saji berbasis mete yang semakin populer di pasar global.
Selain itu, terdapat Cashew Nut Shell Liquid (CNSL), yaitu cairan yang diekstrak dari kulit mete. CNSL memiliki aplikasi luas dalam industri CNSL memiliki potensi pasar yang luas karena penggunaannya di berbagai industri, otomotif, seperti pembuatan kampas rem dan pelumas, serta dalam industri kimia untuk pembuatan vernis dan tinta.
Sayangnya, peluang ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar petani mete di Indonesia masih menjual hasil panennya dalam bentuk gelondongan tanpa diolah lebih lanjut, sehingga nilai tambah yang bisa diraih menjadi terbatas.
Dengan pengembangan teknologi pengolahan dan peningkatan kapasitas industri hilir, produk turunan kacang mete berpotensi memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Pengembangan mete di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Produktivitas mete rata-rata hanya mencapai 700–800 kg per hektare, jauh lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan India.
Ketergantungan pada ekspor dalam bentuk gelondongan mengurangi nilai tambah yang seharusnya dapat dinikmati oleh petani dan industri lokal.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur dan teknologi, terutama di sentra produksi terpencil, menghambat akses ke pasar.
Minimnya konsumsi domestik juga menjadi kendala, karena pasar dalam negeri untuk kacang mete masih kurang berkembang.