Tanaman ini tumbuh subur di daerah beriklim dingin pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.800–3.000 meter di atas permukaan laut, suhu harian 15–20 derajat celcius, kelembapan 60–70 persen, serta tanah beraerasi baik dengan pH sekitar 5,7–6,0.
Perbanyakan purwoceng biasanya dilakukan melalui biji secara generatif. Tanaman ini mulai berbunga pada usia sekitar 6 bulan, dan bijinya akan masak beberapa minggu setelah berbunga.
Satu tanaman dewasa dapat menghasilkan 50-250 biji, yang kemudian disemai dalam bedeng persemaian.
Setelah muncul kecambah dengan 3–4 helai daun, bibit dipindahkan ke polibag kecil berisi tanah humus dan pupuk kandang sebelum akhirnya ditanam di lahan terbuka dengan jarak tanam sekitar 25–30 cm.
Para petani di Dieng umumnya membudidayakan purwoceng dalam skala kecil, baik di sela-sela lahan pertanian utama seperti kentang maupun di pot di halaman rumah.
Budidaya massal masih jarang karena keterbatasan lahan dan siklus panen yang lama. Purwoceng membutuhkan waktu sekitar satu tahun dari tanam hingga panen.
Panen dilakukan dengan mencabut seluruh tanaman setelah berbunga dan berbuah. Seluruh bagian tumbuhan dapat dimanfaatkan, tetapi bagian akar memiliki kandungan senyawa aktif tertinggi dan paling bernilai.
Pusat Standarisasi Instrument Perkebunan melalui balainya yang dulu bernama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), melakukan pengembangan purwoceng, tanaman obat yang dikenal sebagai afrodisiak (makanan penggugah gairah).
Baca juga: Mengenal Gula Bit: Inovasi Pemanis
Penelitian Balitro mencakup eksplorasi kandungan kimia, uji farmakologi, dan konservasi plasma nutfah untuk menjaga kelestariannya.
Selain itu, Balitro telah mengembangkan teknik budidaya purwoceng dan melepas varietas unggul Pruacan 1, yang lebih adaptif di lingkungan budidaya.
Standar Operasional Prosedur (SOP) budidaya yang disusun Balitro bertujuan mengatasi eksploitasi liar dan mendukung produksi purwoceng secara berkelanjutan.
Balitro juga berkontribusi dalam mendukung pemanfaatan purwoceng bagi industri dan kesehatan.
Kendala utama dalam produksi purwoceng adalah keterbatasan bibit unggul dan lingkungan tumbuh yang terbatas.
Oleh karena itu, penelitian dan inovasi budidaya dilakukan, termasuk teknik kultur jaringan (in vitro) untuk memperbanyak purwoceng secara aseksual di laboratorium.
Perguruan tinggi juga bekerja sama dengan petani dalam mendirikan rumah kaca untuk mengontrol lingkungan tumbuh purwoceng dan meningkatkan produksi.