
Liberika kerap disebut “kopi nangka” atau “kopi nongko” karena aroma panggangannya mengingatkan pada buah nangka. Sedangkan sebagian petani di Sumedang menyebut keduanya “kopi Afrika” atau bahkan “kopibuhun” (kopi leluhur).
Penamaan ini menandai penghormatan terhadap warisan nenek moyang sekaligus cara membedakan rasa dan karakter mereka dari kopi lain di pasaran.
Di Kendal, Jawa Tengah, petani masih merawat rumpun Liberika yang konon telah berusia ratusan tahun, membuktikan nilai historis yang melekat pada tiap batang kopi.
Secara geografis, Liberika tumbuh paling baik pada lahan gambut ber-pH rendah dan kondisi tergenang musiman.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Jambi dan Bengkulu menjadi sentra utama, diikuti Kepulauan Meranti (Riau) yang menjadikan Liberika sebagai “penjaga” ekosistem gambut karena perakarannya mampu menahan erosi.
Jawa pun punya kantong produksi, dari Kendal hingga Jember, meski kepadatan pohonnya lebih jarang akibat ukuran batang yang tinggi dan besar.
Popularitasnya di kalangan pegiat specialty coffee terus menanjak, sementara kafe-kafe setempat berlomba menawarkan “Liberika aroma nangka” sebagai daya tarik kuliner sekaligus produk wisata agro.
Excelsa, di sisi lain, lebih adaptif pada dataran rendah tropis ber-pH tanah relatif tinggi. Budi dayanya terkonsentrasi di Tanjung Jabung Barat (Jambi) dan sebagian kawasan Riau, namun kini merambat hingga Temanggung dan Sumedang.
Cita rasa Excelsa yang masam gurih dan body yang tebal membuatnya kian diminati kompetisi kopi internasional.
Ketika barista Ryan Wibawa menyajikannya di panggung "World Brewers Cup 2024" di Chicago, ia menegaskan bahwa Liberika, Excelsa, dan Arabika merefleksikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mewakili keragaman rasa sekaligus budaya Indonesia di mata dunia.
Kehadiran Liberika dan Excelsa, dengan segala keragaman nama, sejarah, dan persebarannya, menegaskan bahwa kopi tidak hanya soal ekonomi, melainkan juga narasi kebudayaan.
Di tengah tren kopi spesialti global, kedua varietas ini menjadi simbol kekayaan hayati yang mengangkat citra daerah asal sekaligus membuka peluang wisata, riset, dan inovasi kuliner.
Mempertahankan pohon kopi “buhun”, melestarikan praktik tanam tradisional, serta mengemas cerita di balik tiap cangkir adalah ikhtiar menjaga warisan leluhur dan memastikan bahwa kopi eksotis Nusantara tetap lestari serta diakui dunia.
Kopi Liberika dan excelsa tidak hanya hadir sebagai komoditas pertanian, tetapi juga telah menyatu dengan identitas budaya masyarakat di sejumlah wilayah penghasil kopi di Indonesia.
Sejak diperkenalkan pada akhir abad ke-19, kedua varietas ini bertahan lewat tradisi tutur, kebiasaan minum kopi, hingga seremoni panen yang diwariskan secara turun-temurun.