
INDONESIA terus berambisi mewujudkan swasembada gula sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Tahun 2024, produksi gula nasional diperkirakan hanya mencapai 2,46 juta ton, sedangkan kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri diproyeksikan mencapai 6,5 juta ton.
Artinya, Indonesia masih menghadapi defisit lebih dari 4 juta ton setiap tahunnya. Kekurangan ini selama bertahun-tahun ditambal dengan impor, yang membuat harga gula sangat rentan terhadap fluktuasi pasar global dan berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.
Di tengah krisis ketergantungan ini, Jawa Timur hadir sebagai provinsi penopang utama harapan swasembada.
Dengan luas areal tebu terbesar dan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap total produksi gula nasional, Jawa Timur memainkan peran krusial. Provinsi ini mencatat produksi gula mencapai lebih dari 1,2 juta ton per tahun.
Namun, satu persoalan klasik terus menjadi hambatan serius dalam peningkatan produktivitas, dominasi praktik ratoon atau keprasan tebu yang berlebihan.
Baca juga: Kawasan Tebu Nasional dalam Kekosongan Implementasi
Alih-alih menanam ulang dengan bibit baru, banyak petani mempertahankan tanaman lama hingga enam hingga delapan kali panen, yang pada akhirnya menurunkan hasil dan efisiensi lahan secara signifikan.
Ratoon adalah praktik menumbuhkan tunas baru dari tanaman tebu yang telah dipanen, tanpa menanam ulang.
Secara teknis, metode ini sah dan bahkan efisien dalam jangka pendek karena menghemat biaya tanam. Namun ada batas optimalnya.
Setelah tiga kali kepras, produktivitas tanaman biasanya mulai menurun tajam. Sayangnya, banyak petani di Jawa Timur melakukan ratoon hingga lima, bahkan delapan kali.
Alasannya sederhana, tanam ulang dianggap mahal, lambat, dan berisiko. Akibatnya, lahan kelelahan, tanaman makin kecil, dan hasil panen pun jeblok.
Data dari Jombang, salah satu sentra tebu Jatim, menunjukkan rata-rata produktivitas sekitar 73 ton per hektare, dengan rendemen 7,1 persen. Padahal, tanaman baru dari varietas unggul bisa mencapai 100 ton per hektare atau lebih.
Di Banyuwangi, misalnya, varietas Bululawang dan HMW yang ditanam ulang mampu menghasilkan hingga 106 ton per hektare. Artinya, selisih lebih dari 30 ton per hektare menjadi potensi hilang yang besar.
Jika skema bongkar ratoon diterapkan secara konsisten, lompatan produktivitas ini bisa menjadi kunci menuju swasembada.
Perbandingan antara tanaman baru dan ratoon menunjukkan perbedaan mencolok. Tanaman baru tumbuh dari bibit segar dengan akar kuat, menyerap unsur hara tanah secara optimal.
Ratoon, apalagi generasi keempat atau lebih, cenderung menghasilkan batang yang lebih kecil, jumlah anakan lebih sedikit, dan kualitas nira menurun.
Dalam konteks swasembada, mempertahankan pola tanam seperti ini sama artinya dengan memperpanjang ketergantungan pada impor.
Bongkar ratoon berarti membongkar tanaman ratoon tua dan menggantinya dengan bibit baru. Pemerintah pusat menargetkan peremajaan 80.000 hektare lahan tebu di Pulau Jawa pada 2025, dengan 74.000 hektare di antaranya berada di Jawa Timur.
Baca juga: Kopi Toraja, Primadona di Negeri Sakura
Program ini bukan wacana kosong, karena anggaran lebih dari Rp 1 triliun telah disiapkan, lengkap dengan bibit unggul gratis, biaya tanam, hingga pendampingan.
Petani dengan lahan maksimal 5 hektare akan menerima 60.000 mata tunas per hektare. Varietas yang disalurkan pun tak main-main, Varitas unggul seperti Bululawang dan PS 862, yang tahan kekeringan dan bisa mencapai rendemen 9 persen.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, "Percepatan bongkar ratoon adalah bagian dari strategi besar mencapai swasembada gula. Kami dorong petani menanam ulang dengan bibit unggul agar produktivitas melonjak dan ketergantungan impor berkurang."
Mengapa bongkar ratoon penting? Karena praktik ratoon berkepanjangan terbukti menjadi akar stagnasi produksi nasional.
Sekitar 80 persen lahan tebu di Indonesia merupakan lahan keprasan. Tanpa replanting, produktivitas makin tergerus.
Pemerintah tidak tinggal diam. Dalam Perpres No. 40 Tahun 2023, perbaikan praktik agrikultur tebu berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, masuk dalam strategi nasional percepatan swasembada gula.
Dukungan tidak hanya dari pusat, tapi juga dari Pemprov Jatim dan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara melalui PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), yang mengelola banyak pabrik gula di wilayah ini.
Efek domino dari bongkar ratoon sangat besar. Pertama, dari sisi efisiensi lahan, dimana panen meningkat tanpa perlu perluasan area.
Kedua, pendapatan petani naik signifikan. Studi di Kediri menunjukkan bahwa usaha tani tebu dengan sistem bongkar ratoon memiliki IRR 88n B/C ratio 3,5, sangat menguntungkan.
Ketiga, daya saing gula lokal meningkat. Dengan rendemen tinggi dan kualitas lebih baik, produksi gula lokal bisa bersaing dengan impor. Ini penting karena banyak petani merasa terjepit harga akibat gula rafinasi impor yang membanjiri pasar.
Jawa Timur telah memulai. Beberapa kabupaten sentra pertanaman tebu telah menargetkan bongkar ratoon cukup luas tahun ini, termasuk Kediri, Lamongan, Malang dan Madiun pun ikut bergerak.
Pemerintah daerah juga mendorong skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) klaster tebu dengan bunga 6 persen. Inovasi pembiayaan ini penting agar petani tak lagi takut dengan biaya awal tanam ulang.
Baca juga: Menjaga Andaliman, Rempah Wangi yang Tak Tergantikan
Selain itu, ada juga program perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan bagi buruh tani. Komitmen daerah ini patut dijadikan teladan nasional.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menegaskan, "Jawa Timur siap menjadi motor swasembada gula nasional. Lewat program bongkar ratoon, kami ingin petani sejahtera dan ketahanan pangan terwujud."
Namun, tantangan tetap ada. Mengubah kebiasaan petani bukan perkara mudah. Sosialisasi masif dan pendampingan intensif dibutuhkan.
Penyuluh dan petugas lapangan memegang peran sentral dalam memberi pemahaman bahwa tanam ulang bukan beban, melainkan investasi jangka panjang.
Perlu pula kepastian harga gula yang menguntungkan petani agar mereka termotivasi ikut program.
Di sisi lain, modernisasi pabrik gula dan efisiensi rantai pasok juga harus menyusul. Produktivitas tinggi dari lahan hanya akan berdampak maksimal jika ditunjang sistem hilir yang efisien.
Pemerintah dan pelaku industri perlu bersinergi untuk memastikan setiap tetes nira dari ladang benar-benar menjadi gula berkualitas.
Apakah ini cukup untuk swasembada? Belum tentu. Namun tanpa bongkar ratoon, mimpi itu nyaris mustahil.
Baca juga: Anomali Pasokan Kakao: Analisa dan Solusi untuk Industri
Bongkar ratoon adalah fondasi. Tanpa lahan produktif dan tanaman sehat, sebanyak apa pun pabrik gula dibangun, tidak akan berarti.
Maka, memulai dari hulu adalah keputusan bijak. Jika semua pihak konsisten, target swasembada gula konsumsi pada 2026-2027 bukan sekadar ambisi.
Jawa Timur memegang kunci. Dengan kontribusi lebih dari setengah produksi gula nasional, keberhasilan bongkar ratoon di provinsi ini akan menentukan nasib ketahanan gula Indonesia.
Perubahan memang tidak terjadi dalam semalam, tapi langkah awal telah diambil. Tinggal memastikan bahwa kebijakan bagus ini tidak berhenti di seremoni.
Bila konsisten, hasilnya akan manis, se-manis cita-cita yang kita impikan, yaitu mandiri gula, pendapatan petani meningkat, dan berkelanjutan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang