
KLUWEK (juga dikenal sebagai keluak/klewek atau picung/pucung) adalah biji dari pohon kepayang (Pangium edule) yang menjadi kunci citarasa dan warna hidangan khas tradisional Nusantara. Biji berwarna hitam legam ini memberikan warna cokelat kehitaman dan aroma sedap pada masakan seperti rawon dan brongkos, dua kuliner legendaris yang tak terpisahkan dari identitas Jawa Timur.
Rawon, sup daging sapi berkuah hitam, mendapatkan warna khas dan rasa gurihnya berkat kluwek. Demikian pula brongkos, semur kacang berkuah pekat, memanfaatkan kluwek untuk memperkaya rasa. Tanpa kluwek, kuah rawon takkan sehitam manis dan sedalam citarasanya yang kita kenal.
Tak hanya di Jawa Timur, penggunaan kluwek juga sejak lama meluas di Nusantara. Beragam daerah memiliki masakan berbumbu kluwek, seperti gabus pucung di Betawi, sup konro di Sulawesi, hingga ayam buah keluak di komunitas Peranakan. Bumbu tradisional ini membuktikan bahwa keunikan lokal bisa menjadi nyawa hidangan yang mendunia.
Baca juga: Benarkah Bumbu Dapur Kluwek Mengandung Sianida?
Istilah “mabuk kepayang” barangkali akrab di telinga kita, digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tergila-gila oleh cinta sampai hilang akal. Ungkapan ini ternyata berakar dari pengalaman dengan buah kepayang (sumber kluwek) yang dapat menyebabkan efek memabukkan bila dikonsumsi mentah. Konon pada masa lampau, orang yang nekat memakan buah kepayang tanpa diolah akan teler seperti orang mabuk, karena racunnya mengganggu saraf.
Salah satu daerah penghasil kepayang, Kepahiang di Bengkulu, bahkan diyakini terkait dengan asal-usul ungkapan tersebut, “mabuk kepahiang” lama-lama berubah lafal menjadi “mabuk kepayang”.
Secara sejarah, kluwek bukan pendatang baru dalam khazanah kuliner. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak akhir zaman Pleistosen (ribuan tahun silam), manusia di Nusantara telah mengenal cara mengolah biji kepayang agar aman dimakan. Di Gua Niah, Serawak, arkeolog menemukan sisa kluwek yang dipendam dengan abu, pertanda teknologi detoksifikasi tradisional sudah dikuasai manusia purba Nusantara, sekaligus bukti bahwa kluwek telah lama menjadi bagian dari pola makan dan kearifan lokal di kawasan kita.
Tak heran berbagai suku memiliki nama sendiri untuk kepayang, orang Jawa menyebutnya pucung, Sunda bilang picung, Minangkabau menyebut simiang, Toraja mengenal pamarrasan. Keberagaman penamaan ini mencerminkan penyebaran luas dan pentingnya kluwek dalam berbagai budaya daerah.
Secara simbolik, kluwek mengandung pesan kultural. Warna hitam legam yang dihasilkannya kerap dikaitkan dengan kekayaan rasa dan kedalaman makna. Dalam tradisi, hidangan berkuah hitam seperti rawon bisa hadir di meja acara adat atau pesta, melambangkan kehangatan dan kekayaan bumbu leluhur.
Ungkapan “mabok kepayang” pun mengajarkan kita tentang batas dan kehati-hatian, sesuatu yang nikmat bisa menjebak jika berlebihan atau tanpa ilmu.
Baca juga: Mudah, Cara Membuat Pestisida Nabati dari Kluwek
Ilustrasi kluwek atau keluak yang bahan bakunya mengandung sianida.
Jangan terkecoh oleh kelezatannya di piring, kluwek mentah aslinya mengandung racun yang berbahaya. Biji kepayang mengandung glikosida sianogenik, senyawa yang akan terurai menjadi asam sianida (racun sianida) saat dicerna. Itulah sebabnya orang bisa “mabuk” atau keracunan berat jika memakan buah kepayang tanpa olahan. Gejalanya mirip orang mabuk minuman keras, pusing, limbung, bahkan bisa berujung fatal bagi manusia.
Namun, nenek moyang kita sudah menemukan solusi jitu untuk menaklukkan racun ini: proses fermentasi dan perendaman tradisional. Biji kepayang biasanya direbus dulu, lalu direndam dalam air, dan selanjutnya dipendam dalam tanah berhari-hari (sering dibungkus daun pisang) hingga terjadi fermentasi. Teknik “mengeram” ini efektif menghilangkan racun sampai kadarnya tersisa sekitar 1% saja.
Menariknya, di balik wajah gelap kluwek tersimpan berbagai kandungan gizi dan senyawa unik. Bumbu tradisional ini mengandung mineral seperti zat besi, kalsium, fosfor, kalium, serta vitamin seperti Vitamin C dan B1 dalam jumlah yang berarti. Bahkan ada pula beta-karoten di dalamnya. Artinya, kluwek bukan sekadar penyedap rasa kosong belaka, tetapi turut menyumbang nutrisi.
Selain itu, penelitian mengungkap keberadaan senyawa-senyawa langka pada kluwek, misalnya asam hidnokarpat dan asam khaulmograt, dua jenis asam lemak siklik yang jarang ditemukan pada bahan pangan umum. Senyawa unik ini bersifat antibakteri dan telah digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit kulit seperti kusta dan infeksi lain. Kluwek juga kaya akan tanin dan flavonoid yang berperan sebagai antioksidan, menjadikannya berpotensi baik bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah wajar.
Menariknya lagi, jejak racun yang tersisa dalam kluwek justru memberi manfaat tambahan. Kadar sianida yang sangat rendah setelah fermentasi berkontribusi sebagai pengawet alami dalam masaka. Tak heran rawon terkenal dapat tahan lama, konon kuah rawon yang mengandung kluwek bisa lebih awet karena terhambatnya pertumbuhan mikroba.
Baca juga: Mengandung Sianida, Ini 4 Tips Memilih Kluwek ala Pakar IPB
Di era serba instan, kluwek, yang merupakan bumbu utama dalam masakan khas Nusantara, menghadapi ancaman kelestarian. Kemudahan bumbu instan membuat banyak orang melupakan bentuk asli dan proses tradisional kluwek. Generasi muda mungkin masih menikmati rawon, tetapi tak lagi tahu rupa biji kepayang atau cara mengolahnya. Padahal di balik proses fermentasi alami kluwek, tersimpan kearifan lingkungan dan filosofi hidup sederhana yang kini kian pudar.