
Sementara itu, kayu kedawung yang ringan namun serbaguna dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, mebel, kotak kemasan, hingga bahan baku pulp. Kulit kayunya yang kaya tanin juga dapat digunakan dalam penyamakan kulit dan pewarna alami.
Dalam konteks lingkungan, penanaman kedawung memberikan manfaat ekologis yang signifikan. Akar dan batangnya yang kokoh membantu menahan erosi, sementara sifat legumnya memungkinkan peningkatan kesuburan tanah melalui fiksasi nitrogen. Karena itu, kedawung sangat cocok ditanam dalam proyek agroforestri atau rehabilitasi hutan, misalnya dipadukan dengan kopi, padi gogo, atau tanaman tahunan lainnya.
Selain menjaga ekosistem, petani hutan dapat memperoleh keuntungan ganda dari hasil obat dan hasil kayu. Tren pasar tradisional dan herbal yang terus berkembang, baik di dalam negeri maupun mancanegara, turut memperkuat peluang kedawung untuk kembali menjadi komoditas bernilai tinggi.
Meskipun memiliki potensi ekologis dan ekonomis yang besar, kedawung menghadapi tantangan konservasi yang serius. Populasinya di alam terus menurun akibat regenerasi yang sangat lambat dan sifatnya yang intoleran terhadap naungan, sehingga kecambah sulit tumbuh tanpa cahaya matahari penuh.
Studi bioekologi di Taman Nasional Meru Betiri menunjukkan bahwa hanya terdapat puluhan pohon muda sementara sebagian besar individu yang tersisa (sekitar dua ratus pohon) telah berusia tua. Laju regenerasi yang hampir terhenti ini diperburuk oleh alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman. Akibatnya, kedawung semakin jarang ditemui di hutan alam, sementara pengetahuan tradisional masyarakat tentang manfaatnya juga kian memudar.
Di tengah penurunan populasi, pemanfaatan kedawung oleh masyarakat pun masih rendah. Banyak orang enggan mengolah bijinya karena rasa yang kurang familiar, dan lebih memilih obat kimia praktis yang mudah didapat.
Minimnya petani yang membudidayakan kedawung membuat pasokan bahan baku semakin terbatas, padahal kedawung pernah dijuluki “pohon raja obat-obatan” oleh para ahli karena kedudukannya yang penting dalam pengobatan tradisional.
Hilangnya minat masyarakat ini berpotensi menggerus kearifan lokal sekaligus mempercepat punahnya kedawung dari lanskap budaya dan ekologi Nusantara. Dalam situasi seperti ini, upaya menjaga, menumbuhkan kembali, dan memperkenalkan kedawung kepada generasi baru menjadi semakin mendesak.
Untuk menghidupkan kembali kedawung, langkah kolaboratif perlu ditempuh melalui penguatan budidaya, inovasi produk, konservasi habitat, dan sinergi riset–industri. Perbanyakan bibit dengan teknik generatif maupun vegetatif dapat mempercepat regenerasi yang secara alami sangat lambat.
Inovasi pengolahan seperti brownies kedawung, teh herbal, atau suplemen serbuk dapat meningkatkan nilai ekonomi sekaligus mengatasi hambatan selera tradisional.
Pada saat yang sama, kebijakan konservasi yang memasukkan kedawung ke dalam program reboisasi dan rehabilitasi lahan akan memperluas habitatnya. Jika didukung riset lanjutan dan keterlibatan industri pangan dan farmasi, maka kedawung berpotensi bangkit sebagai komoditas unggulan yang memberi manfaat bagi kesehatan masyarakat, meningkatkan pendapatan petani, dan menjaga kekayaan hayati untuk generasi mendatang.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang