JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir seluruh kegiatan pertanian di Indonesia menggunakan pupuk kimia dan pestisida sebagai upaya untuk mendukung kegiatan usahanya.
Akan tetapi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar dan kurun waktu yang lama dapat mengurangi ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Dikutip dari laman Cybex Kementerian Pertanian RI, Jumat (17/2/2023), salah satu contoh dari keadaan ini adalah meningkatnya kebutuhan pupuk dan pestisida yang dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat secara terukur melalui tingkat keasaman atau pH tanah.
Baca juga: Cara Mengatasi Tanah Asam, Tak Hanya Pakai Kapur Dolomit
Tingkat keasaman tanah yang optimal untuk tanaman sayuran yaitu pada kisaran pH 5,5 sampai 6,5.
Upaya untuk memperbaiki keadaan tersebut dapat dilakukan dengan pengapuran. Pemberian kapur pertanian atau kapur dolomit merupakan upaya untuk menurunkan tingkat keasaman tanah yang terbuat dari batuan kapur yang telah diolah terlebih dahulu.
Selain dapat meningkatkan pH tanah, kapur dolomit juga merupakan sumber unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg).
Terdapat beberapa hal yang wajib diketahui sebelum mengaplikasikan kapur dolomit di lahan pertanian, yakni sebagai berikut.
Baca juga: 5 Bahaya Aplikasi Dolomit Berlebihan yang Perlu Diketahui
Pelaksanaan pengapuran harus memperhatikan dosis yang dianjurkan sesuai dengan keadaan tanah yang dimiliki. Untuk menaikkan 1 poin pH tanah pada luasan 1 hektar yaitu sebanyak 2.000 kg.
Misal pH saat ini 4,5 dan pH yang diharapkan adalah 5,5, maka kapur dolomit yang dibutuhkan sebanyak 2.000 kg per hektar. Menaikkan dosis pH harus dilakukan secara bertahap.