SEJAK abad ke-19, pisang abaca (Musa textilis) atau yang dikenal sebagai penghasil "serat Manila" telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat nusantara.
Serat ini digunakan untuk membuat tali kapal yang kuat, pakaian adat, hingga berbagai kerajinan tangan tradisional.
Pada masa lalu, Indonesia pernah menjadi salah satu pemasok abaca yang diperhitungkan di Asia. Namun, sejak tahun 1970-an, invasi bahan sintetis secara perlahan menggeser peran serat abaca di pasar domestik maupun internasional.
Produksi serat abaca menurun drastis dan tanaman ini hanya bertahan di pinggiran hutan, tanaman liar atau di kebun masyarakat.
Meski demikian, abaca tetap menjadi potensi lokal yang tak pernah benar-benar hilang. Pisang abaca bukan hanya tanaman penghasil serat, melainkan juga bagian dari warisan sejarah pertanian Indonesia dengan potensi ekonomi yang besar.
Serat ini memiliki kekuatan dan daya tahan luar biasa, menjadikannya bahan baku utama dalam industri kertas khusus, tali kapal, dan tekstil ramah lingkungan.
Di tengah tren global yang semakin menuntut penggunaan bahan ramah lingkungan, permintaan terhadap serat abaca terus meningkat.
Filipina, sebagai produsen utama abaca dunia, berhasil memanfaatkan dan menjaga potensi abaca untuk pemanfaatan berbagai aplikasi modern, seperti pembuatan kertas uang, kabel bawah laut, dan geotekstil untuk kebutuhan teknik sipil.
Baca juga: Serat Alam dan Potensi Pengembangannya
Keberhasilan Filipina menunjukkan bahwa abaca memiliki potensi pasar yang sangat menjanjikan.
Indonesia dapat menjadi pemain utama abaca di pasar serat alam global melalui penguatan investasi, budidaya, pendampingan teknologi, serta promosi produk turunan di pasar internasional.
Serat abaca, yang dikenal dengan kekuatan dan ketahanannya, memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia seiring meningkatnya permintaan global terhadap serat alami.
Serat ini banyak digunakan di berbagai sektor industri, seperti kertas khusus, tekstil ramah lingkungan, dan geotekstil.
Untuk memaksimalkan potensi tersebut, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperluas lahan budidaya di wilayah-wilayah beriklim tropis yang mendukung, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara.
Daerah-daerah ini memiliki kesesuaian iklim dengan curah hujan dan kondisi tanah yang ideal untuk pertumbuhan abaca.
Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu melakukan pemetaan lahan secara komprehensif untuk mengidentifikasi area potensial dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan, menjaga keseimbangan ekosistem.