Pengembangan abaca di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai pada 1853 di Minahasa.
Pada 1905, budidaya tanaman ini diperluas ke Jawa dan Sumatera Selatan dengan hasil yang cukup baik.
Namun, pada 1912, hanya tersisa tiga perkebunan di Besuki, Jawa Timur, yang mampu mengekspor sekitar 200 ton serat per tahun sebelum akhirnya bangkrut akibat menurunnya produktivitas.
Baca juga: Menjadikan Indonesia Pusat Hilirisasi Kelapa Dunia
Tahun 1925, abaca mulai dikembangkan di Sumatera Utara, tetapi kembali mengalami penurunan akibat serangan penyakit layu Fusarium.
Pada 1961, luas lahan abaca di Indonesia menyusut menjadi hanya 404 hektar dengan produktivitas 695 kg/ha.
Meski sempat mengalami kemunduran, pada 1998 minat terhadap abaca kembali meningkat seiring terjadinya krisis ekonomi.
Pemerintah terus mendorong pengembangan agribisnis abaca dalam rangka pengentasan kemiskinan.
Saat ini, telah tersedia dukungan teknologi modern dan juga keberadaan perusahaan seperti PT Alstrom, PT Rekso Group, dan PT Retota Sakti, yang terlibat dalam pengembangan abaca.
Di Banyuwangi, PT Perkebunan Bayulor masih bertahan sebagai produsen abaca berkualitas ekspor, membuka peluang baru untuk kebangkitan industri ini di Indonesia.
Pendampingan teknologi menjadi langkah berikutnya dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas serat abaca.
Teknologi kultur jaringan, misalnya, dapat mempercepat perbanyakan bibit unggul dengan karakteristik serat yang lebih baik dan ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium.
Pelatihan terpadu kepada petani mengenai teknik pemilihan bibit, metode penanaman, pemeliharaan tanaman, hingga penanganan pascapanen perlu ditingkatkan untuk menjaga kualitas dan kuantitas hasil produksi.
Selain itu, diversifikasi produk abaca menjadi langkah strategis dalam memperluas pasar. Serat abaca kini tidak hanya digunakan untuk tali kapal dan kertas khusus, tetapi juga dalam produksi kabel bawah laut, tekstil premium, dan komponen otomotif ramah lingkungan.
Permintaan global yang terus meningkat, diperkirakan mencapai 600.000 ton per tahun, sementara produksi global baru 78.200 ton, memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan tersebut melalui inovasi dan pengembangan produk turunan abaca.
Promosi produk abaca secara konsisten di pasar internasional menjadi langkah penting untuk memperluas pangsa pasar global.